KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta Salam semoga selalu tercurah dan terlimpah atas junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW.
Tak lupa pula penulis menghaturkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Drs. H. Mawardi Hatta, M. Ag sebagai pengampu Mata Kuliah “Aqidah Salafiyah” yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menyelesaikan makalah yang berjudul “Nazar, Karamah, Ziarah Kubur, dan Tawassul Menurut Salafiyah”.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat dan dapat menambah perbendaharaan ilmu bagi kita semua, tak lupa juga penulis meminta maaf jika dalam penulisan makalah ini terdapat kekurangan dan kesalahan.
Banjarmasin, 30 Mei 2010
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................... i
DAFTAR ISI .......................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN .............................................................. 1
BAB II : PEMBAHASAN ................................................................. 2
A. Nazar ................................................................................ 2
B. Karamah............................................................................ 4
C. Ziarah Kubur..................................................................... 6
D. Tawassul............................................................................ 7
BAB III : PENUTUP ........................................................................... 10
Kesimpulan.............................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 11
BAB I
PENDAHULUAN
Kata Salaf adalah kependekan dari Salaf al-Ṣāliḥ, yang berarti terdahulu. Dalam terminologi Islam, secara umum digunakan untuk menunjuk kepada tiga generasi terbaik umat muslim: Sahabat, Tabi'in, Tabi'ut tabi'in. Ketiga generasi ini dianggap sebagai contoh bagaimana Islam dipraktekkan.
Kelompok Salafiyah ini pada dasarnya tidak pernah menyadarkan diri pada golongan tertentu atau tidak pernah menyebut sebagai golongan dalam Islam. Bagi mereka, Islam adalah satu, yaitu yang bersandar pada Al-qu’an dan Sunah Muhammad saw, dan diharamkan bagi mereka berpecah belah (firqoh) dalam pelbagai bentuk aliran atau organisasi-organisasi selain nama identitas Islam itu sendiri.
Disini kami akan membahas faham-faham salafiyah tentang Nazar, Karamah, Ziarah Kubur, dan Tawassul. Kami tutup pendahuluan ini dengan doa, “Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami bahwa yang benar itu adalah benar. Dan, karuniakanlah kepada kami untuk mengikutinya. Serta, tunjukilah kepada kami bahwa kebathilan itu adalah bathil. Dan, karuniakanlah kepada kami untuk menjauhinya”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. NAZAR
Nazar adalah ibadah mendekatkan diri kepada Allah.[1] Oleh karena itu, Allah memerintahkan agar nazar itu dilaksanakan. Pada asalnya, nazar adalah bagi Allah Subhanahunwa Ta’ala saja. Karena, nazar adalah ibadah dan mendekatkan diri. Jika ia diberikan untuk selain Allah, ia adalah syirik dalam ibadah dan nazar seperti itu adalah nazar maksiat. Dengan demikian ia tidak boleh dilakukan. Nazar yang bukan karena Allah adalah Syirik.
Adapun ketentuan dalam nazar adalah sebagai berikut :
1. Nazar (kaul) adalah sesuatu yang diwajibkan oleh seseorang kepada dirinya sendiri untuk mendekatkan dirinya sendiri kepada Allah SWT.[2] Nazar yang demikian itu wajib dilaksanakan dan Allah memuji orang melaksanakannya dengan firman-Nya :
يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا
“Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata”. (Q.S. al-Insan ; 7)
2. Allah memberi pahala kepada mereka yang menunaikan nazar dengan sebanyak-banyak pahala. Firman Allah SWT :
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ نَفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُمْ مِنْ نَذْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Orang-orang yang berbuat zalim tidak ada seorang penolongpun baginya”.( Q.S. al-Baqarah ; 270)
3. Nazar yang benar adalah selama nazar itu karena Allah dan karena taat kepada-Nya, dan kalau nazar itu berbentuk penyembelihan supaya menyembelihnya ditempat yang bersih dan suci dari penyembelihan yang bukan karena (untuk) Allah dan nazar itu benar selama dalam kemampuan manusia dan anak cucu adam.[3]
4. Nazar yang bathil (rusak) adalah bila nazar itu bukan karena Allah atau untuk maksiat kepada-Nya, atau ditempat yang biasa dipergunakan untuk menyembelih karena Allah atau yang tidak dimiliki oleh orang yang bernazar.
عن عائشة رضي الله عنها أن الرسول صلى الله عليه وسلم قال : من نذر ان يطيع الله فليطعه, ومن نذر ان يعصى الله فلا يعصيه.[4]
Dari Aisyah r.ha, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda : Barangsiapa yang bernazar untuk taat kepada Allah, supaya ditunaikan ketaatannya itu, dan barangsiapa yang bernazar untuk maksiat kepada Allah, maka janganlah dia bermaksiat.
5. Nazar (kaul) yang benar (shahih) wajib ditunaikan,[5] sedang nazar yang rusak (bathil) tidak harus ditunaikan.
B. KARAMAH
Sumber tentang masalah-masalah yang tidak terjangkau oleh indra, akal dan eksperimen seperti masah ghaib, khusus terbatas pada khabar shadiq yang ditopang oleh mukjidzat yang sampai kepada manusia dari Dzat yang mengetahui yang ghaib dan pencipta Alam dan seluruh makhluk.[6]
Imam Ibnu Taimiyah mengakui keramat (kemulian) yang Allah berikan kepada sebagian manusia sehingga terjadi khawariq pada mereka. Khawariq ini terjadi pada diri nabi dan pada orang-orang selain mereka.
Khawariq yang terjadi pada para nabi adalah mukjidzat, sedangkan yang terjadi pada selain para nabi, dibagi oleh ibnu Taimiyah menjadi tiga bagian. Ia mengatakan:
Sesuatu yang luar biasa, jika terjadi manfaat dalam agama maka itu termasuk amal shaleh yang diperintahkan dalam agama; jika menghasilkan sesuatu yang mubah, maka itu merupakan nikmat duniawi dari Allah yang harus disyukuri; dan jika ia mengandung sesuatu yang terlarang, baik larangan haram atau yang makruh, maka itu merupakan sebab datangnya azab atau kebencian (dari Allah).[7]
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang luar biasa, menurut agama dapat terpuji, dapat tercela, dan dapat pula tidak terpuji dan tidak tercela. Jika ia membawa manfaat, maka itu merupakan nikmat dan dinamakan karamah.
Keramat tidak sendirinya memberikan suatu anugrah. Ibnu Taimiyah beranggapan bahwa orang yang diberikan istiqamah lebih baik daripada orang yang diberikan keramat. Karena itu ia menukilkan kalimat yang bijak dari Abi al – Jawzajani, “Jadilah engkau seorang yang menuntut istiqamah, bukan seorang yang menuntut keramat. Karena, sesungguhnya dirimu diciptakan senang mencari keramat, sedangkan Tuhanmu menuntut istiqamah darimu”.[8]
Ibnu Taimiyah berkesimpulan bahwa kewalian tidak berhubungan secara timbal balik dengan khawariq al-‘adat (hal-hal diluar kebiasaan).[9] Bahkan terkadang seorang wali tidak memiliki sesuatu yang diluar kebiasaan, dan Allah tidak menjadikan padanya sesuatu yang luar biasa. Sebagaimana juga terkadang Allah menjadikan perkara-perkara yang luar biasa pada seseorang, padahal ia bukan yang taat kepada Allah. Dengan demikian dia bukanlah wali (walaupun hal yang luar biasa itu terjadi pada dirinya).
Kemuliaan Para Wali
1. Membenarkan adanya keramat (tanda kemulian) para wali Allah, dan kejadian luar biasa yang ada pada mereka, tentang bermacam-macam ilmu dan mukasyafat, dan bermacam-macam kemampuan serta bekas-bekas perbuatan mereka.[10]
2. Membenarkan adanya petilasan :
a. Dari umat yang terdahulu seperti Ashabul Kahfi dan lain-lain.
b. Pada permulaan umat ini berupa sahabat dan tabi’in.
c. Pada setiap kelompok ini pasti ada sampai hari kiamat.[11]
Dan kejadian keramat para wali itu pada hakikatnya mukjizat daripada para Nabi, sebab karamah tidak mungkin berhasil pada seseorang kecuali karena barakah mengikuti para Nabi dan perjalanan mereka menetapi petunjuk agama dan syariat (tatanannya).
Syarat Penting
Syarat kejadian luar biasa itu dikategorikan “karamah” adalah orang yang menyebabkan kejadian itu saleh dan mengikuti sunnah. Barangsiapa mengaku-ngaku cinta kepada Allah dan mengasihi-Nya, tetapi tidak mengikuti syariat dan sunnah Nabinya, maka orang itu bukan kekasih (wali) Allah. Firman Allah SWT :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ...
“Katakanlah : Apabila kamu mencintai allah, maka ikutilah aku, pasti Allah cinta kepadamu...” (Q. S. Ali Imran ; 31)
C. ZIARAH KUBUR
Ibnu Taimiyah membagi ziarah kubur menjadi dua macam, yaitu Ziarah Syar’iyah dan Ziarah Bid’iyah.[12]
Ziarah Syar’iyah inilah yang dibolehkan oleh Syara’, yaitu jika yang berziarah bermaksud untuk mendoakan si mayit, seperti shalat jenazah yang dimaksudkan sebagai doa baginya. Berdiri (berdoa) di atas kuburannya termasuk shalat atasnya. Melaksanakan shalat atas mayat orang mu’min dan berdoa atas kuburannya adalah tuntutan sunnah yang mutawatir. Nabi Muhammad SAW menshalatkan orang muslim yang mati dan mensyariatkannya bagi umat, dan jika dikuburkan seseorang dari umatnya maka beliau berdiri di atas kuburannya dan berkata :
سلواله التثبيت فإنه الآن يسئل
“Mohonkanlah untuknya kekuatan (hati) karena pada saat ini ia ditanya” (HR. Abu Daud).
Sedangkan Ziarah Bid’iyah adalah ziarah yang dimaksudkan memohon kepada si mayit untuk memenuhi hajat seseorang, atau minta doa dan syafaat kepadanya, atau berdoa di dekat kuburannya dengan keyakinan bahwa dengan itu akan lebih dikabulkan doanya. Semua bentuk ziarah seperti itu adalah mubtada’ah (diada-adakan) dan tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW serta tidak dilakukan para sahabat beliau, baik di kuburan beliau sendiri maupun di kuburan orang lain. Shalat di kuburan para Nabi dan orang-orang shalih dan mohon doa mereka, seperti menjadikan kuburan mereka sebagai mesjid adalah haram dan dilarang. Dan orang yang mengerjakan hal itu akan mendapat murka dan laknat dari Allah SWT. Nabi SAW bersabda :
لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ.
“Laknat Allah atas Yahudi dan Nashrani, mereka telah menjadikan kubur-kubur Nabi mereka sebagai tempat ibadah.” (HR. Al-Bukhari)
Untuk menjaga agar tidak terjadi penyimpangan dalam masalah ziarah kubur ini, Muhammad bin Abdul Wahab menyebutkan beberapa langkah yang diperintahkan Nabi SAW,[13] yaitu :
1. Dilarang menziarahi masjid Nabi SAW dengan mengkhususkan pada hari tertentu.
2. Diperintahkan agar membaca shalawat dan salam untuk Nabi SAW di mana saja berada sebagaimana yang diperintahkan Allah, karena shalawat dan salam akan tetap dapat sampai kepada beliau.
3. Tidak boleh niat ziarah ke mesjid-mesjid kecuali tiga mesjid, yaitu Masjidil Haram di Mekkah, Masjid Aqsha di Palestina, dan Masjid Nabawi di Madinah.
4. Diperintahkan shalat nawafil di dalam rumah-rumah, berdoa dan membaca Alquran di rumah-rumah itu.
D. TAWASSUL
Kata tawassul berasal dari bahasa Arab yang artinya mendekat (taqarrub) kepada yang dituju dan mencapainya dengan keinginan keras. Tawassul adalah menggunakan wasilah untuk mencapai sebuah hal. Hal tersebut tidak mungkin dicapai kecuali dengan menggunakan wasilah.[14] Hakikat wasilah (jalan mendekatkan diri kepada Allah) ialah menjaga jalan-Nya dengan amal dan ibadah, dan mencari keutamaan syariat. Ibnu Katsir menyatakan bahwa para imam dan ahli tafsir sepakat tentang artinya yaitu sesuatu yang mengantarkan kepada tercapainya tujuan.[15] Allah SWT berfirman :
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#þqäótGö/$#ur Ïmøs9Î) s's#Åuqø9$# (#rßÎg»y_ur Îû ¾Ï&Î#Î6y öNà6¯=yès9 cqßsÎ=øÿè?
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”(QS. Al Maidah : 35)
Ada empat macam tawassul yang disyariatkan,[16] yaitu :
1. Tawassul dengan Asma ul-Husna (Nama-nama Allah yang indah). Allah SWT berfirman :
¬!ur âä!$oÿôF{$# 4Óo_ó¡çtø:$# çnqãã÷$$sù $pkÍ5 (
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna.” (QS. Al A’raf : 180)
2. Tawassul kepada Allah dengan kebaikan-Nya yang telah berlalu. Ada yang mengatakan bahwa ini adalah doa permohonan. Maknanya adalah Engkau selalu mengabulkan permohonanku dan menolongku, serta tidak pernah mengecewakanku dengan menolak dan menghalangi permohonanku. Jadi, ini adalah tawassul kepada Allah dengan pengabulan-Nya dan kebaikan-Nya yang telah lalu.
3. Tawassul dengan amal shaleh. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tawassul memohon kepada-Nya dengan amal-amal shaleh yang diperintahkan-Nya, seperti doa tiga orang yang berlindung di dalam gua dengan amal-amal shaleh mereka, dan dengan doa serta syafaat para nabi dan orang-orang shaleh, maka ini adalah tawassul yang tidak diperselisihkan tentang kebolehannya.
4. Tawassul dengan doa orang shaleh yang masih hidup. Boleh bertawassul dengan doa orang yang kita anggap termasuk orang-orang yang memiliki keutamaan dan keshalehan. Kita katakan kepadanya : Berdoalah kepada Allah agar Dia mengampuniku, menyembuhkanku, dan semisalnya. Ibnu Taimiyah berkata : Telah diterangkan dalam sunnah bahwa orang yang hidup dapat dimintai doanya, sebagaimana dapat diminta darinya segala yang ia mampu lakukan. Adapun makhluk yang ghaib dan orang yang sudah mati, maka tidak boleh meminta sesuatu darinya.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa bertawassul dengan doa dan syafaat Nabi SAW memiliki dua bentuk :[17]
1. Seseorang memohon doa dan syafaatnya, kemudian beliau berdoa dan mensyafaatinya. Hal ini sebagaimana dilakukan ketika beliau hidup dan pada hari Kiamat, ketika manusia datang kepada Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan kemudian Muhammad SAW. Mereka memohon Syafaat dari beliau.
2. Memohon kepada Allah dengan syafaat dan doa Nabi SAW sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang seorang buta. Orang buta tersebut meminta doa dan syafaat Nabi SAW, lalu beliau berdoa memberi syafaat untuknya, dan menyuruh dia berdoa kepada Allah agar syafaat beliau diterima. Sebaliknya, orang yang bertawassul dengan doa dan syafaat Nabi SAW, sedangkan Nabi sendiri tidak berdoa dan memberinya syafaat, adalah tawassul dengan sesuatu yang tidak ada. Hanya orang yang untuknya Nabi SAW berdoa dan memberi syafaat, bisa bertawasssul dengan doa dan syafaat beliau.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Nazar adalah ibadah mendekatkan diri kepada Allah dan hanya diperuntukkan bagi Allah Subhanahunwa Ta’ala saja. Jika ia diberikan untuk selain Allah, ia adalah syirik dalam ibadah dan nazar seperti itu adalah nazar maksiat.
Karamah adalah hal-hal kejadian yang luar biasa, menurut agama dapat terpuji, dan membawa manfaat. Karamah para wali itu pada hakikatnya mukjizat daripada para Nabi, sebab karamah tidak mungkin berhasil pada seseorang kecuali karena barakah mengikuti para Nabi dan perjalanan mereka menetapi petunjuk agama dan syariat.
Ziarah kubur yang dibolehkan oleh Syara’ yaitu jika yang berziarah bermaksud untuk mendoakan si mayit, seperti shalat jenazah yang dimaksudkan sebagai doa baginya. Sedangkan ziarah yang dilarang adalah ziarah yang dimaksudkan memohon kepada si mayit untuk memenuhi hajat seseorang, atau minta doa dan syafaat kepadanya, atau berdoa di dekat kuburannya dengan keyakinan bahwa dengan itu akan lebih dikabulkan doanya.
Tawassul berarti mendekat (taqarrub) kepada yang dituju dan mencapainya dengan keinginan keras dengan menggunakan wasilah untuk mencapai sebuah hal. Hakikatnya ialah menjaga jalan-Nya dengan amal dan ibadah, dan mencari keutamaan syariat. Ada empat macam tawassul yang disyariatkan : tawassul dengan Asma ul-Husna, tawassul kepada Allah dengan kebaikan-Nya yang telah berlalu, tawassul dengan amal shaleh, dan tawassul dengan doa orang shaleh yang masih hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab, Muhammad, Kitab at-Tauhid, terj. Tegakkan tauhid Tumbangkan Syirik - Muhammad Muhaimin, yogyakarta, Mitra Pustaka, 2000, Cet. I
Abdul Wahhab, Muhammad, Ma’a Aqidah as-Salaf al-Ladzi huwa haqqullah ‘alal-‘abid, terj. Bersihkan tauhid Anda dari Noda Syirik 1, surabaya, P.T Bina Ilmu, 2005, Cet. IV
Abdul Muhsin, Abdullah, Mujmal I’tiqadi Aimmati As-Salaf, terj. Dasar-dasar Aqidah Para Imam Salaf – Nabhani Idris, beirut, Muassasah Risalah, 1413H/1992M, Cet. I
Abu Zahrah, Muhammad, Ibn Taimiyah, hayatuhu wa ashruhu, ara’uhu wa fiqhuhu, Dar al – Fikr al – ‘Arabi, T. Th
Al ‘Alim, Musthafa, Aqidah Islam Menurut Ibnu Taymiyah, bandung, P.T Alma’arif, 1982, Cet I
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, At-Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu, terj. Tawassul dan Tabarruk – Aunur Rafiq, Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2000, Cet. II.
At Tamimi, Muhammad, Kitab at-Tauhid al-Ladzi huwa haqqullah ‘alal-‘abid, terj. Kitab Tauhid – Muhammad Yusuf Harun, jakarta, Darul Haq, 1999, Cet. III
Qardhawi, Yusuf, Fushul fi al-‘Aqidah baina as-Salaf wa al-Khalaf, terj. Aqidah salaf dan Khalaf – Arif Munandar Riswanto, jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2009, Cet. II
Taimiyah, Ibnu, al-‘Aqidah al-Washithiyah, beirut, Daar al-Arabiyah, T.th
Taimiyah, Ibnu, al – Mu’jizatu wa Karamatu al – Auliya’, terj. Mukjizat Nabi dan Keramat Wali – Ali Yahya, jakarta, P.T. Lentera Basritama, 1420 H/2000 M, Cet. II
Taimiyah, Ibnu, At Tawassul wa al Wasilah, terj. Tawassul dan Wasilah – Su’adi Sa’ad, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1987, Cet. I.
Tamim, Ummu, Aqa’id al-Firaq adh-Dhallah wa Aqidah al-Firqah an-Najiyah, terj. Menyingkap Aliran dan Paham Sesat – Sufyan bin Zaidin Sinaga, Jakarta, Pustaka Imam Ahmad, 2009.
[1]Dr. Yusuf Qardhawi, Fushul fi al-‘Aqidah baina as-Salaf wa al-Khalaf, (Terj. Aqidah salaf dan Khalaf – Arif Munandar Riswanto), (jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2009), Cet. II, h. 316
[2]Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab at-Tauhid, (Terj. Tegakkan tauhid Tumbangkan Syirik-Muhammad Muhaimin), (yogyakarta : Mitra Pustaka, 2000), Cet. I, h. 80
[3]Muhammad bin Abdul Wahhab, Ma’a Aqidah as-Salaf al-Ladzi huwa haqqullah ‘alal-‘abid, (Terj. Bersihkan tauhid Anda dari Noda Syirik 1), (surabaya : P.T Bina Ilmu, 2005), Cet. IV, h. 55-56
[4] Lih. (Al- Maktabah Asy-Syamelah) Shahih Bukhari, bab an-Nadzar fi at-Tha’ah, juz 6, h. 2463, dan bab an-Nadzar fii ma yamliku wa fi ma’shiyah, juz 6, h. 2464, Sunan at-Tirmidzi, bab Man Nadzara an yuthi’a Allah, juz 4, h. 103, Sunan Abi Dawud, bab Ma ja,a fi an-Nadzar, juz 3, h. 228, Sunan Ibnu Majah, bab an-Nadzzr fi al-Ma’shiyah, juz 1, h. 678, Musnad Ahmad, juz 40, h. 169
[5]Syaikh Muhammad At Tamimi, Kitab at-Tauhid al-Ladzi huwa haqqullah ‘alal-‘abid, (Terj. Kitab Tauhid – Muhammad Yusuf Harun), (jakarta : Darul Haq, 1999), Cet. 3, h. 75
[6]Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, Mujmal I’tiqadi Aimmati As-Salaf, (Terj. Dasar-dasar Aqidah Para Imam Salaf – Nabhani Idris), (Beirut : Muassasah Risalah, 1413H/1992M), Cet. I, h. 160
[7]Ibnu Taimiyah, al – Mu’jizatu wa Karamatu al – Auliya’ (Terj. Mukjizat Nabi dan Keramat Wali – Ali Yahya), (jakarta : P.T. Lentera Basritama, 1420 H/2000 M), Cet. II, h. 12
[8] Imam Muhammad Abu Zahrah, Ibn Taimiyah, hayatuhu wa ashruhu, ara’uhu wa fiqhuhu, (Dar al – Fikr al – ‘Arabi, T. Th), h. 317-318
[9] al – Mu’jizatu wa Karamatu al – Auliya’, op cit. h. 15
[10] Musthafa Al ‘Alim, Aqidah Islam Menurut Ibnu Taymiyah, (bandung : PT. Alm’arif, 1982), Cet I, h. 127
[11] Ibnu Taimiyah, al-Aqidah al-Washithiyah (bab; karamah al-Auliya), (beirut : Daar al-‘Arabiyah, h. 89
[12] Ibnu Taimiyah, At Tawassul wa al Wasilah, terj. Tawassul dan Wasilah – Su’adi Sa’ad, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1987, Cet. I, h. 16-20.
[13] Muhammad bin Abdul Wahhab, Ma’a Aqidah as-Salaf al-Ladzi huwa haqqullah ‘alal-‘abid, op.cit, h.79.
[14] Dr. Yusuf Qardhawi, op. cit, h. 323.
[15] Muhammad Nashiruddin Al-Albani, At-Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu, terj. Tawassul dan Tabarruk – Aunur Rafiq, Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2000, Cet. II, h. 19-22.
[16] Ummu Tamim, Aqa’id al-Firaq adh-Dhallah wa Aqidah al-Firqah an-Najiyah, terj. Menyingkap Aliran dan Paham Sesat – Sufyan bin Zaidin Sinaga, Jakarta, Pustaka Imam Ahmad, 2009, h. 216-221.
[17] Ibnu Taimiyah, At Tawassul wa al Wasilah, op. cit, h. 193-194.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar