I. PENDAHULUAN
Studi tentang sejarah perkembangan pemikiran hadis di
Nusantara bisa di bilang masih sangat jarang dilakukan, padahal disamping ilmu
lain seperti tafsir, kalam, dan tasawuf, hadis juga memegang peranan yang
sangat penting dalam kajian Islam. Karena ia merupakan sumber kedua setelah
Al-Qur’an. Pada umumnya kajian hadis masih terpusat pada karya-karya para ulama
klasik, pembahasan yang dilakukan sekitar sejarah perkembangan hadis pada abad
ke-2 H. sampai abad ke-4 H. Di samping itu pembahasan juga diarahkan pada
pelacakan dan pengujian status kesahihan hadis.
Agak jarang-untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali
–bahasan serius tentang perkembangan pemikiran hadis pada abad-abad sesudahnya
sampai masuknya Islam di Indonesia.[1] Jika penyebaran Islam diduga sudah mulai
menyentuh wilayah Nusantara sejak abad ke-13 M,[2] maka kenyataan di atas cukup memprihatinkan.
Sebab hal ini akan menimbulkan persepsi kurang baik bagi sejarah intelektual
Islam di Indonesia. Padahal, dalam sejarahnya, dinamika
intelektual umat Islam sebelum abad ke-19 M memiliki intensitas yang cukup
tinggi.
Khusus mengenai hadis, wilayah ini tampaknya tidak mencatat
perkembangan yang cukup signifikan. Berbeda dengan disiplin-disiplin lain
seperti tasawuf, fiqih, tafsir, dan filsafat. Namun tidak berarti hadis
tidak berkembang sama sekali, karena kajian hadis pada saat itu baru bersifat
antologi yakni berupa kumpulan-kumpulan dari berbagai tema yang berkaitan dengan
kajian fiqih, jadi masih tercampur dengan disiplin lain.
Makalah ini akan mencoba mengungkap bagaimana perkembangan
pemikiran hadis pada abad ke-17 M dan 18 M, khususnya pemikiran ‘Abd Rauf
Al-Sinkili, yang mewakili ulama pada saat itu.
II. MENGENAL ABD RAUF SINKEL
A. Biografi
Abd Rauf Sinkel dilahirkan di Sinkel, Aceh, pada 1024 H/1615
M, nenek moyang Syeikh Sinkel berasal dari Persia yang datang ke Kesultanan
Samudera Pasai pada akhir abad ke-13. Nama Sinkel dinisbahkan pada daerah
kelahirannya itu.[3]
Beberapa literatur menyebutkan, ayah Sinkel adalah kakak
laki-laki dari Hamzah Al-Fansuri, kendati tidak cukup bukti yang meyakinkan
bahwa ia adalah keponakan Al-Fansuri. Nama yang terakhir ini merupakan seorang
ulama yang juga filsuf yang terkenal dengan pantheismenya.[4] Namun, ada pula yang menyatakan bahwa ayah
Sinkel, yakni Syeikh ‘Ali adalah seorang Arab yang telah mengawini wanita
setempat dari Fansur (Barus), sebuah kota pelabuhan tua di Sumatra Barat.
Keluarga itu lantas menetap di sana.
Pendidikan pertama Sinkel didapatkan di tempat kelahirannya,
Sinkel, terutama dari ayahnya yang merupakan seorang alim. Ayahnya juga
mempunyai pesantren. Sinkel pun menimba ilmu di Fansur, karena ketika itu
negeri ini menjadi salah satu pusat Islam penting di Nusantara serta merupakan
titik hubung antara orang Melayu dan kaum Muslim dari Asia Barat dan Asia
Selatan. Beberapa tahun kemudian, Sinkel berangkat ke Banda Aceh, ibukota
kesultanan Aceh dan belajar kepada Syams al-Din al-Samatrani, seorang ulama
pengusung doktrin Wujudiyyah.[5]
Sejarah perjalanan karier Sinkel diawali saat dia
menginjakkan kaki di jazirah Arab pada 1052 H/1642 M. Tercatat ada sekitar 19
guru yang pernah mengajarinya dengan berbagai disiplin ilmu Islam di samping
sebanyak 27 ulama terkemuka lainnya. Tempat belajarnya tersebar di sejumlah
kota yang berada di sepanjang rute haji, mulai dari Dhuha (Doha) di wilayah
Teluk Persia, Yaman, Jeddah, Makkah serta Madinah. Studi keislamannya dimulai
di Doha, Qatar, dengan berguru pada seorang ulama besar, Abd Al-Qadir al Mawrir.[6]
Ketika di Yaman, Sinkel belajar di sebuah kota bernama Bayt
al-Faqih yakni dengan keluarga Ja’man. Beberapa anggota keluarga ini terkenal
sebagai ahli sufi dan ulama terkemuka, antara lain Ibrahim Muhammad Ja’man
serta Faqih al-Thayyib Abi al-Qasim Ja’man. Sebagian ulama Ja’man adalah juga
murid-murid dari Ahmad Al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani.[7]
Guru paling berpengaruh terhadap pemahaman keagamaan Sinkel
adalah Ibrahim Abdullah Ja’man, seorang muhaddits dan faqih. Di
samping itu dia juga seorang pemberi fatwa yang produktif. Seperti diuraikan Dr
Azyumardi Azra dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII, sebagian besar waktu Sinkel dihabiskan untuk mempelajari ‘ilm
al-zhahir (pengetahuan eksoteris) seperti fiqih, hadits dan subyek lain
yang terkait. Sementara guru Sinkel yang lain, yakni Ishaq Muhammad Ja’man,
terkenal sebagai muhaddits dan faqih di Bayt al-Faqih.
Ketika belajar di Zabid, Sinkel banyak menimba ilmu kepada
Abd Al-Rahim al-Shiddiq Al-Khash, Amin Al-Shiddiq al-Mizjaji dan Abd Allaq
Muhammad Al-Adani. Sejumlah ulama Yaman semisal Abd Fatah Al-Khash, Sayyid
al-Thahit Al-Maqassari, Qadhi Muhammad Abi Bakr Muthayr dan Ahmad Abu Al-Abbas
al-Muthayr juga banyak berhubungan dengan Sinkel.
Sesuai urutan rute haji, diketahui kemudian bahwa Sinkel
menyinggahi kota Jeddah di Saudi Arabia dimana dia belajar dengan muftinya Abd
Al-Qadir Al-Bharkali. Selanjutnya di Makkah, Sinkel belajar dengan Badr Al-Din
al-Luhuri dan Abd Allah Al-Luhuri. Guru Sinkel terpenting di Makkah adalah Ali
Abd Al-Qadir.
Sinkel juga menjalin hubungan dengan beberapa ulama
terkemuka di Makkah. Antara lain Isa al-Maghribi, Abd Al-Aziz Al-Zamzani, Taj
Al-Din Ibn Ya’qub, Ala’ Al-Din Al-Babili, Zayn Al-Abidin Al-Thabari, Ali Jamal
Al-Makki dan Abd Allah Sa’id Ba Qasyir al-Makki. Dari banyak ulama inilah yang
akhirnya menjadi bagian dari jaringan Sinkel dalam upayanya menyebarkan
pembaruan dan pengetahuan Islam di Nusantara.
Perjalanan akhir Sinkel adalah di Madinah sekaligus
menyelesaikan pelajarannya. Di kota tersebut, dia belajar dengan dua orang
ulama penting, Ahmad Al-Qusyasyi dan khalifahnya Ibrahim al-Kurani. Dari
Al-Qusyasyi dia mempelajari ilmu-ilmu dalam (‘ilm al-bathin) yakni
tasawuf dan ilmu terkait lainnya. Oleh gurunya itu, Sinkel lantas ditunjuk
sebagai khalifah Syathariyyah dan Qadiriyyah. Ini sekaligus menandai selesainya
pelajaran dalam jalan mistis.
Ibrahim Al-Kurani banyak menanamkan pelajaran secara
intelektual kepada Sinkel. Pelajaran yang tidak hanya menyangkut pemikiran
melainkan pada tingkah laku pribadi dan ilmu pengetahuan tentang pemahaman
intelektual Islam bukannya pengetahuan spiritual atau mistis.
Kedua ulama tersebut menjadi sentral dalam pencarian pengetahuan
religi spiritual Sinkel. Bahkan tak berlebihan jika al-Qusyasyi telah dianggap
sebagai guru spiritual dan mistis Sinkel sementara Al-Kurani menjadi guru
intelektualnya. Kualitas intelektual Sinkel tak perlu diragukan lagi berkat
didikan para ulama terkemuka saat itu. Pengetahuannya bisa dibilang sangat
lengkap, mulai dari syariat, fiqih, hadis, disiplin ilmu eksoteris hingga kalam
dan tasawuf.[8]
Karier mengajarnya dimulai di Haramayn (Makkah dan
Madinah). Hal ini dinilai Azyumardi Azra tidak mengherankan mengingat menjelang
datang ke Makkah dan Madinah, Sinkel telah mempunyai pengetahuan memadai untuk
disampaikan kepada kaum muslim di Melayu-Indonesia. Selama 19 tahun dia belajar
di tanah Arab. Merasa sudah cukup menggali ilmu dari banyak ulama, Sinkel
memutuskan kembali ke Nusantara.
Ia kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan mengajarkan
serta mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya di Arab. Murid yang
berguru kepadanya makin bertambah banyak dan bukan hanya berasal dari sekitar
wilayah Aceh saja tapi seantero Nusantara. Tak sedikit di antara murid-muridnya
tadi menjadi ulama terkenal seperti Syeikh Burhanuddin dari Ulakan (Pariaman,
Sumbar), Abd Al-Muhyi dari Jawa Barat serta Dawud Al-Jawi Al-Fansuri Ismail
Agha Mushthafa Agha ‘Ali Al-Rumi asal Turki.
Karena pengetahuannya yang luas itu, maka Sultanah Shafiyyat
Al-Din menunjuk Sinkel menjadi Qadhi Malik Al-’Adil atau mufti yang
bertanggungjawab terhadap administrasi masalah keagamaan di kesultanan Aceh.
Dengan dukungan sultanah, Sinkel berhasil menghapus ajaran Salik Buta, tarekat
yang sudah ada sebelumnya.[9]
Aceh ketika itu masih diramaikan pertentangan antara
penganut doktrin Wujudiyyah dan Nuruddin Al-Raniri. Namun tidak ada sumber yang
menyebutkan bahwa Sinkel pernah bertemu dengan Al-Raniri sekitar periode 1047
H/1637 M dan 1054 H/1644-45 M. Kendati demikian, Sinkel berusaha melepaskan
diri dari kontroversi dua paham tersebut.
Sinkel meninggal tahun 1105 H/1693 M.[10] Dia dimakamkan di dekat kuala atau mulut
sungai Aceh. Tempat tersebut juga menjadi kuburan untuk istri-istrinya, murid
kesayangannya Dawud Al-Rumi dan murid-murid lainnya. Di kemudian hari, ia
dikenal dengan nama Tengku Syech Kuala yang namanya diabadikan pada perguruan
tinggi di Banda Aceh yakni Universitas Syiah Kuala. Sinkel pun dikenal sebagai
Wali Tanah Aceh. Makamnya hingga kini ramai dikunjungi para peziarah.[11]
B. Kondisi Sosial-Politik dan Keagaamaan
‘Abd Rauf mulai menjalani karir intelektualnya ketika Aceh
berada dalam situasi chaos. Situasi demikian dipicu oleh adanya
persengketaan antara penganut doktrin wujudiyyah (yang diasosiasikan kepada
Hamzah Fansuri dan Syam al-Din al-Sumatrani) dengan pendukung al-Raniri (yang
cenderung ortodok). Persengketaan kedua pihak menjadi makin runcing, ketika
salah satu pihak (dengan dukungan kekuatan politik) melangkah jauh dengan
mengambil jalan kekerasan yaitu melakukan tindakan pengejaran, penyiksaan,
pembakaran, hingga pembunuhan.
Nuansa mistik memang menjadi bagian menonjol dalam kehidupan
keagamaan kawasan ini, khususnya pada abad XVI-XVII. Gejala ini dapat dirunut
sekurang-kurangnya sejak akhir abad XVI, di mana ketika itu Aceh Darussalam
sedang berada di bawah pemerintahan Iskandar Muda.
Seperti pada umumnya penguasa saat itu, Iskandar Muda
agaknya punya minat tinggi terhadap ajaran tasawuf atau mistik.[12] Pengangkatan Syam al-Din al-Sumatrani
sebagai mufti besar kerajaannya adalah salah satu indikasi yang dapat ditunjuk.
Meski sangat terbatas petunjuk bahwa Syam al-Din kemudian memanfaatkan peluang
ini untuk mengkampanyekan pandangan-pandangannya, tapi pengaruh jabatannya
jelas memberi andil bagi kejayaan ajaran doktrin yang dianutnya.
Akibatnya-seperti pada pemerintahan Ali Mughayat Syah- tasawuf tidak saja menjadi
fenomena istana, tapi juga menjadi “gaya hidup” sebagian besar masyarakat waktu
itu. Dalam penelitian Riddell ajaran yang menjadi trend waktu itu adalah
teosofi a la Ibnu ‘Arabi.
Pergantian pucuk pimpinan sejak kematian Iskandar Muda pada
1636 membawa perubahan kehidupan keagamaan di Aceh. Penguasa baru, anak mantu
Iskandar Muda (Iskandar Tsani) agaknya tidak memiliki orientasi keagamaan yang
progresif sebagaimana mertuanya. Ia selanjutnya mengangkat Nuruddin al-Raniri
–ulama asal Gujarat yang berpandangan ortodok- sebagai mufti besar Istana.
Ciri penting lain kehidupan politik dalam babakan sejarah
saat ini yang juga patut dicatat adalah bahwa kesultanan saat itu dipegang oleh
empat ratu secara berturut-turut hingga akhir abad ke 17 M. Ratu pertama
adalah Safiatuddin yang memerintah kurang lebih 34 tahun (1050-1086 /1641-1675)
menggantikan suaminya, Iskandar Sani. Ratu kedua adalah Naqiqtuddin
(1086-1088/1675-1678). Ketiga adalah ratu Zakiatuddin (1088-1098/1678-1688) dan
akhirnya ratu Kamalat Syah (1098-1109/1688-1699).[13]
Pada keempat ratu itulah Al-Sinkili melewatkan masa hidupnya
di Aceh. Para ahli sejarah mencatat pada masa pemerintahan para ratu ini Aceh
mengalami banyak kemunduran (politis). Selain banyaknya wilayah yang lepas dari
kekuasaan Aceh, kekacauan bermotif agama (yang sebelumnya sudah muncul) juga
tambah berkecamuk, antara penganut paham wujudiyah (wahdat al-wujud) dan
paham wahdat al-syuhud (nama untuk penganut paham ortodoks). Namun
menurut Hasjmi, sejarah ilmu pengetahuan kebudayaan dan seni budaya makin
mengalami perkembangan pesat.[14]
Namun terlepas dari sebab-sebab pemicu konflik, beberapa hal
yang dapat dipahami dari setting sosial-politik dan juga keagamaan di “negeri
atas angin” (salah satu sebutan untuk Aceh) adalah pertama, adanya
persengketaan agama yang makin memanas antara dua kelompok tersebut yang
menjurus pada tindakan saling menghujat dan bahkan mengkafirkan. Kedua, ada
kontrofersi tentang sah tidaknya seorang pemimpin atau penguasa dari kalangan
perempuan. Ini terbukti dengan diangkatnya isu tersebut ke tingkat yang lebih
tinggi, yakni dengan mempertanyakan persoalan tersebut secara langsung pada
syaraf agama di Haramain waktu itu. Ketika beberapa utusan dari sana singgah ke
Aceh pada masa pemerintahan Zakiatuddin.[15] Ketiga, bahwa peran qadhi malik adil,
yang dijabat oleh Al-Sinkili sangat strategis. Dalam prakteknya ia tidak saja
mengurusi persoalan-persoalan keagamaan, namun lebih dari itu ia turut berperan
dalam menentukan proses pengangkatan dan penurunan sultan.
Beberapa sumber menyebutkan, berkat jasa dan kuatnya
pengaruh Al-Sinkili, usaha pemberontakan terhadap para penguasa perempuan gagal
dilakukan. Berangkat dari poin inilah kemudian muncul anggapan bahwa selama
pemerintahan keempat ratu sesungguhnya yang memegang kendali adalah Al-Sinkili
(dari balik layar). Sehingga begitu Al-Sinkili mangkat, ratu terakhir Kamalat
Syah akhirnya diturunkan dari kekuasaannya, karena qadhi waktu itu tidak
mempunyai pengaruh yang sebanding dengan Al-Sinkili.
Dalam konteks sosial-politik dan keagamaan yang demikian
Al-Sinkili hidup dan menjalankan perannnya sebagai qadhi malik al-adil
dan menyusun beberapa karyanya termasuk al-Mawaiz al-Badi’ah.
C. Karya-Karya
Sepanjang hidupnya, tercatat Sinkel sudah menggarap sekitar
21 karya tulis,[16] terdiri dari 1 kitab tafsir, yaitu Tarjuman
al-Mustafid (Terjemah Pemberi Faedah) sebagai kitab tafsir lengkap pertama
yang dihasilkan di Indonesia dan berbahasa Melayu. Dua kitab hadits, yaitu Syarah
Latif ‘ala Arba’in Hadisan li Imam Al-Nawawi, dan Al-Mawa’iz al-Badi’ah,
keduanya berbahasa Melayu. Tiga kitab fiqih. Yaitu Mi’rat
al-Tullab fi Tahsil Ahkam asy-Syar’iyyah li al Malik al-Wahhab (Cermin bagi
Penuntut Ilmu Fiqih pada Memudahkan Mengenal Hukum Syara’ Allah) yang ditulis
atas perintah Sultanah. Sementara di bidang tasawuf, karyanya yakni ‘Umdat
al-Muhtajin (Tiang Orang-Orang yang Memerlukan), Kifayat al-Muhtajin
(Pencukup Para Pengemban Hajat), Daqa’iq al-Huruf (Detail-Detail Huruf)
serta Bayan Tajalli (Keterangan Tentang Tajalli). dan selebihnya kitab
ilmu tasawuf.[17]
Namun, di antara sekian banyak karyanya, salah satu yang
dianggap penting bagi kemajuan Islam di Nusantara adalah kitab Tarjuman
al-Mustafid. Ditulis ketika Sinkel masih berada di Aceh, kitab ini telah
beredar luas di kawasan Melayu-Indonesia bahkan ke luar negeri. Tafsir ini
diyakini telah banyak memberikan petunjuk sejarah keilmuan Islam di Melayu.
Kitab ini juga berhasil memberikan sumbangan berharga bagi telaah tafsir
al-Qur’an dan memajukan pemahaman lebih baik terhadap ajaran-ajaran Islam.
D. Perkembangan Hadis Abad XVII-XVIII
1. Secara Umum
Sebelum melangkah pada pemikiran al-Sinkili, penulis perlu
secara singkat untuk mengungkap perkembangan hadis di Aceh pada abad XVII-XVIII,
Snouck Hurgroje sebagai ahli yang pernah mengamati secara langsung di Aceh
mencapai enam tahun, memberikan informasi bahwa di Aceh pada saat itu sangat
kental dipraktikkan tasawuf, warisan Hamzah Fansuri.[18]
Khusus mengenai hadis, wilayah ini tampaknya tidak mencatat
perkembangan yang pesat. Karena pada dasarnya telah ada karya-karya yang menggunakan
rujukan-rujukan hadis sejak abad ke-19 M. Gejala ini tampak dari beberapa karya
tulis yang dihasilkan dan ditemukan pada periode itu. Karya-karya Hamzah
Fansuri atau Syam Al-Din Al-Sumatrani.
Karya-karya Hamzah banyak dituangkan dalam bentuk puisi atau
prosa. Melalui bait-bait syairnya Hamzah menjelaskan beberapa ayat-ayat
Al-Qur’an dan hadis-hadis tertentu yang dikombinasikan dengan bahasa Melayu.
Baru pada perkembangan selanjutnya terdapat karya Abd
Shamad al-Palempani, yang menerjemahkan kitan Lubab Ihya’ ‘Ulum al-Dinnya
al-Ghazali dengan judul Siyar al-Salikin. Buku ini banyak mengutip ayat
serta hadis yang dijelaskan di dalamnya.[19]
Di samping itu, menurut Roolvink,[20] literatur Indonesia sejak masa awal dapat
diklasifikasikan menjadi lima, pertama, cerita-cerita yang di ambil dari
al-Qur’an (Kuranic’s tales) atau cerita tentang Nabi dan person lain
yang namanya disebut dalam Al-Qur’an. Contoh karya ini seperti Hikayat Anbiya’,
Hikayat Yusuf, dsb., kedua, cerita khusus tentang Nabi Muhammad saw., ketiga
cerita tentang orang-orang yang hidup sezaman dengan Nabi (sahabat atau
lainnya). Keempat, cerita tentang pahlawan-pahlawan (dalam dunia) Islam yang
terkenal, seperti Iskandar Zulkarnain, dsb. Kelima, karya-karya yang berkaitan
dengan masalah teologi. Bidang ini, menurut Roolvink, umumnya berkaitan dengan
pengetahuan yang disebut tiga pilar Islam yaitu, ilmu kalam, ilmu fikih, dan
ilmu tasawuf. Bentuk hadis sebagai disiplin tersendiri yang utuh hampir tidak
dijumpai dalam kategori ini.
2. Perspektif ‘Abd Rauf Sinkel
Kedudukan Al-Sinkili bagi perkembangan Islam di Nusantara
sangat penting di bidang fiqih, teologi, tasawuf, tafsir dan hadis. Dalam
bidang tafsir, ia adalah alim pertama yang melakukan penafsiran Al-Qur’an
secara lengkap dalam bahasa Melayu. Sebagai tafsir paling awal, tidak
mengherankan kalau karya ini beredar luas di wilayah Melayu-Indonesia. Bahkan
edisi cetaknya tidak hanya diterbitkan di Singapura, Penang, Jakarta, dan
Bombay, tetapi juga di Timur tengah. Kenyataan bahwa Tarjuman al-Mustafid
diterbitkan di Timur Tengah pada masa yang berbeda-beda, mencerminkan
nilai tinggi karya ini serta ketinggian intelektual Al-Sinkili. Edisi
terakhirnya diterbitkan di Jakarta pada 1981. Ini menunjukkan bahwa karya ini
masih digunakan di kalangan kaum muslim Melayu-Indonesia pada masa kini.
Tarjuman al-Mustafid mempunyai peranan yang sangat
penting dalam sejarah Islam di Nusantara. Lewat karya ini, Al-Sinkili
memberikan banyak sumbangan kepada telaah tafsir Al-Qur’an di Nusantara.
Adapun pemikirannya tentang hadis, Al-Sinkili menulis dua
karya dalam bidang ini, yang pertama adalah Syarah Latif ‘ala Arba’in
Hadisan li Imam an-Nawawi, ini merupakan penafsiran mengenai empat puluh
hadis karya al-Nawawi, yang kedua adalah al-Mawa’iz al-Badi’ah, sebuah
koleksi hadis qudsi, yaitu wahyu Tuhan yang disampaikan kepada kaum beriman
melalui kata-kata Nabi Muhammad.
Jika ditelaah lebih jauh tentang para gurunya, yaitu
Al-Qusyasyi dan al-Kurani, diketahui bahwa al-Kurani mengajarkan ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan intelektual, yang dikenal dengan ‘ilm zahir seperti
ilmu hadis, ilmu tafsir dan ilmu kalam. Sedangkan dari Al-Qusyasyi,
Al-Sinkili mewarisi ilmu-ilmu esoteris atau ‘ilm bathin. Begitu juga
Ibrahim ibn ‘Abd Allah ibn Ja’man (w. 1083/1672), beliau dikenal sebagai
seorang muhaddis dan sekaligus faqih. Keduanya mempunyai jalur
isnad yang terhubung kepada para muhaddis,
Al-Sinkili melewatkan sebagian besar waktunya bersama
Ibrahim ibn ‘Abd Allah ibn Ja’man, mempelajari apa yang dinamakan ‘ilm
zahir (pengetahuan eksoteris), seperti fikih, hadis, dan ilmu-ilmu
yang terkait.
Dengan gambaran di atas membuktikan bahwa Al-Sinkili
mewarisi kecenderungan dengan jaringan ulama untuk menekankan pentingnya hadis.
Ini tidak mengherankan, sebab sebagian besar masa hidupnya dihabiskan Haramain
(Makkah dan Madinah), yang sejak tahun-tahun permulaan Islam, telah dikenal
sebagai pusat utama hadis. Sebab Nabi Muhammad sebagai sumber hadis, hidup dan
memulai ajaran Islam di sana.
Perkembangan selanjutnya, sesuai dengan riset yang dilakukan
oleh Azra membuktikan, bahwa kebanyakan isnad-isnad disebarkan
melalui para muhaddis utama dari abad ke-15 dan awal abad ke-16 di
Mesir, yaitu oleh Ibnu Hajar Al-’Asqalani (w. 853/1449), Jalaluddin Al-Suyuthi,
dan Zakaria Al-Anshari. Akibat perkembangan ini, bahkan para ulama yang dikenal
sebagai sufi, seperti Al-Qusyasyi, Al-Kurani, dan Al-Nakhli atau ‘Abd Allah
Al-Bashri mempunyai kaitan erat dengan tradidi-tradisi ilmiah hadis di Mesir
dan Afrika Utara.
Telaah-telaah hadis bagi para ulama ini merupakan subjek
paling penting dalam keahlian mereka. Al-Kurani mempunyai isnad hadis
melaui ‘Abd Allah Al-Lahuri (w. 1083/1672), yang menghubungkannya dengan Quthb
al-Din Al-Nahrawali, yang pada puncaknya sampai pada Ibnu Hajar Al-’Asqalani.
Mengingat betapa pentingnya kajian hadis, Al-Kurani bahkan
menegaskan, ” Aku tidak menyimpan keraguan bahwa ia (hadis) akan abadi di
atas bumi.”[21] Ini juga menunjukkan bahwa Nabi Muhammad
adalah tokoh paling penting bagi tarekat, sebab beliau adalah sumber syari’at
setelah Tuhan.
Pengaruh warisan dari guru-gurunya tersebut terlihat dalam
kedua karyanya ini, yang mencerminkan perhatian Al-Sinkili secara
sungguh-sungguh terhadap kaum muslim yang masih awam tentang pemahaman hadis,
dengan karya tersebut juga dimaksudkan agar memudahkan mereka dalam memahami
ajaran-ajaran Islam. Hadis Arba’in Nawawi ini adalah sebuah koleksi
kecil hadis-hadis menyangkut kewajiban-kewajiban dasar dan praktis kaum muslim
awam dan bukan untuk ahli yang sudah mendalami ilmu agama. Menurut Azra,
penjelasan Al-Sinkili atas Hadis Arba’in ini tidak ditemukan dalam
bentuk cetakan.
Adapun mengenai kumpulan hadis qudsi, Al-Sinkili mempunyai
sifat yang serupa. Ia mengemukakan ajaran mengenai Tuhan dan hubungannya dengan
ciptaan, neraka dan surga, dan cara-cara yang layak bagi kaum muslim untuk
mendapatkan ridha Tuhan. Al-Sinkili secara khusus menekankan perlunya bagi
setiap Muslim membedakan antara pengetahuan (‘ilm) dan perbuatan baik (‘amal).
Karena pengetahuan saja tidak akan membuat seseorang menjadi Muslim yang baik. Al-Mawa’iz
al-Badi’ah diterbitkan di Makkah pada 1310/1892 (edisi kelima). Dengan
karya ini, Al-Sinkili memberikan contoh bagi para ulama Melayu untuk menyusun
karya koleksi hadis Nabi, sejak abad ke-19 karya-karya semacam itu menjadi
sangat populer di Nusantara.
Karya yang kedua ini menunjukkan usaha-usaha yang dilakukan
Al-Sinkili untuk membuat cara-cara Nabi, di samping ajaran-ajaran Al-Qur’an,
tidak hanya menjadi sumber hukum, tetapi juga inspirasi bagi amalan moral yang
layak. Oleh karena itu, dengan sendirinya, melalui telaah-telaah hadis,
Al-Sinkili ingin mencapai tujuan-tujuan kesalehan yang lebih tinggi. Al-Sinkili
percaya, bahwa hadis akan menuntun kepada kedekatan yang sejati dengan
Nabi, yang menempati posisi kedua setelah Tuhan sebagai intisari iman.
Makna khusus yang diberikan Al-Sinkili pada kajian hadis
mencerminkan usaha-usaha untuk membuat cara-cara Nabi -di samping ajaran-ajaran
al-Qur’an- tidak hanya menjadi sumber hukum, tetapi juga inspirasi yang tak
habis-habisnya bagi amalan moral yang layak. Karena itu dengan sendirinya,
dalam telaah-telaah hadis, Al-Sinkili tidak membatasi diri hanya
mempelajari buku-buku standar (al-kutub al-sittah). Enam buku induk
hadis itu hanya merupakan sebagian kecil dari telaah-telaah hadisnya.
Tekanan khusus yang diberikan Al-Sinkili pada telaah hadis
mempunyai pengaruh besar, tidak hanya dalam menghubungkan para ulama dan
berbagai “tradisi-tradisi kecil” Islam, tetapi juga dalam menimbulkan
perubahan-perubahan dalam pandangan mereka atas tasawuf, terutama dalam
kaitannya dengan syariat.
Perhatian khusus pada telaah hadis atau sunnah Nabi sebagai
sumber kedua hukum Islam, menuntun Al-Sinkili dan ulama lainnya[22] menuju apresiasi lebih besar pada makna
syariat dan tasawuf. Hal ini bisa ditemukan pada referensi karya-karya yang
berupa tafsir, fiqih, dan tasawuf yang berupa riwayat-riwayat hadis. Misalnya
yang terdapat pada karya Al-Sinkili Mir’at al-Thullab yang memuat
tentang aspek mu’amalat dari fiqih, yaitu kehidupan politik, sosial, ekonomi,
dan keagamaan kaum muslim. Sumber utama karya ini adalah Fath al-Wahhab
karya Zakariya Al-Ansari. Di samping itu Al-Sinkili juga mengambil dari Syarah
Sahih Muslim karya Al-Nawawi, Tafsir Al-Baidhawi karya Ibnu ‘Umar
Al-Baidhawi, dan masih banyak sumber-sumber lain yang berupa kumpulan riwayat
hadis.
Misalnya tentang tasawuf, dapat diketahui bahwa rujukan
utamanya juga tidak terlepas dari riwayat-riwayat hadis, misalnya dalam Daqa’iq
al-Huruf, Al-Sinkili dengan sangat bijaksana mengajarkan kepada kaum Muslim
tentang bahaya menuduh orang lain kafir dengan mengutip sebuah hadis Nabi Saw.,
yang menyatakan,
لا
يرم رجل بالفسوق ولا يرمه بالكفر إلاّ أرتدّ عليه إن لم يكن صاحبه كذالك.
رواه
البخاري
Artinya: “Janganlah menuduh orang lain menjalankan kehidupan
penuh dosa atau kafir, sebab tuduhan itu akan berbalik jika ternyata tidak
benar“[23]
Hadis ini digunakan Al-Sinkili untuk menjustifikasi sikap
Al-Raniri yang sangat radikal dalam doktrin wujudiyahnya. Dengan demikian,
konteks sosial-politik dan keagamaan Al-Sinkili (adanya pertentangan antara
faham wahdat al-wujud dan wahdat al-syuhud), selain itu
perdebatan tentang posisi penguasa yang sedang dipegang oleh para sulthanah sangat
mempengaruhi corak pemikirannya, khususnya pada kajian hadis dan fikih. Di mana
Al-Sinkili menyusun al-Mawaiz al-Badi’ah dan Mir’at al-Thullab ketika
ia sedang menjalankan perannnya sebagai qadhi malik al-adil.
III. KESIMPULAN
Dari kajian-kajian yang berhasil ditelusuri, terutama
tentang perkembangan studi hadis di Indonesia pada abad XVII-XVIII, memberikan
gambaran bahwa hadis pada masa itu belum berkembang menjadi disiplin
tersendiri, Karena kajian hadis baru pada dataran praktis, belum tersusun
secara teoritis. Meskipun telah ada karya Al-Sinkili mengenai hadis, namun
penulis merasa kesulitan untuk mendapatkan data primer yaitu al-Mawa’iz
al-Badi’ah.
Data-data yang penulis gunakan adalah data sekunder yang
masih terkait erat dengan pembahasan. Kesulitan ini disebabkan sosok Al-Sinkili
lebih dikenal sebagai tokoh tasawuf dari pada seorang ahli hadis (muhaddis)[24] atau ahli tafsir (mufassir), karena
dari beberapa literatur yang penulis dapatkan memang lebih banyak mengarah pada
ajaran tentang thariqat[25] Syaththariyah.[26]
Pada akhirnya, tulisan ini barangkali belum bisa dijadikan
referensi untuk mengetahui lebih banyak tentang bagaimana pandangan Al-Sinkili
tentang hadis. Namun begitu, penulis berharap semoga tulisan ini dapat
bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Hawash. t.th. Perkembangan Ilmu Tasawuf
& Tokoh-tokohnya di Nusantara, Surabaya, Al-Ikhlash
Al-Bukhari, t.th. Sahih Al-Bukhari, Kairo, Al-Sya’b
Azra, Azyumardi. 2004. Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII &XVIII. Bandung, Mizan
Braginsky, V.I. 1998. Yang Indah, Berfaedah dan
Kamal; Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 17-19. Jakarta, INIS
Fathurrahman, Oman. 1999. Tanbih al-Masyi; Menyoal
Wahdat al-Wujud, Kasus Abd Rauf Sinkel pada Abad ke-17. Bandung, Mizan
Hasjmi A. Hasjmi. 1980. “Syekh Abdurrauf Syah Kuala, Ulama
Negarawan yang Bijaksana”, dalam Universitas Syah Kuala Menjelang 20 Tahun.
Medan, Waspada
http//www.SufiNews.com
Hurgronje, Snouck, C. 1997. Aceh: Rakyat dan adat
istiadatnya, Jakarta, INIS
Johns, A. H. 1986. “Al-Qusyasyi, Syafi al-Din” dalam Encyclopedia
of Islam, New Edition, jilid V. B. Lewis dkk. (ed.), Leiden:E.J. Brill
Lombard, Denys. 1991. Le Sultanat d’Atjeh au Temps d’
Iskandar Muda 1607-1636. terj. Kerajaan Aceh, Jaman sultan Iskandar Muda
(1607-1636), Jakarta, Balai Pustaka
Voorhoeve, P. 1992. “Abd Rauf Sinkel”, dalam Ensiklopedi
Islam Indonesia. Jakarta, Djambatan
Muhsin, Misri A. 2004. “Salik Buta Aliran Tasawuf Aceh Abad
XX” dalam Jurnal Al-Jami’ah, Volume 42. Yogyakarta, Universitas Islam
Sunan Kalijaga
R, Roolvink.. t.th. “Indonesian Literature” dalam Encyclopedia
of Islam, Leiden, E. J. Brill, vol III.
[1] Istilah Indonesia yang dipakai penulis hanya
bersifat umum, karena secara khusus term tersebut merujuk pada wilayah Aceh,
sebagai wilayah asal dari Al-Sinkili. Di samping itu Aceh yang dikenal dengan
“serambi Makkah” merupakan pusat domisili atau tempat singgah para ulama dan pendatang
yang ingin datang ke wilayah Indonesia.
[2] Ada banyak teori mengenai awal mula kedatangan
Islam di wilayah ini. Namun menurut Azyumardi Azra, teori yang menyebut abad 13
sebagai permulaan kedatangan Islam lebih dapat dipertanggungjawabkan. Diskusi
lebih detail mengenai ini lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah
dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &XVIII, (Bandung: Mizan, 2004), hlm.
14.
[3] Oman Fathurrahman, Tanbih al-Masyi;
Menyoal Wahdat al-Wujud, Kasus Abd Rauf Sinkel pada Abad ke-17 (Bandung:
Mizan, 1999,), hlm. 25. Bandingkan dengan V.I. Braginsky, Yang Indah,
Berfaedah dan Kamal; Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 17-19 (Jakarta: INIS,
1998), hlm.
[4] Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf
& Tokoh-tokohnya di Nusantara, (Surabaya: Al-Ikhlash, t.th.), hlm.50.
[5] A. Hasjmi, “Syekh Abdurrauf Syah Kuala, Ulama
Negarawan yang Bijaksana”, dalam Universitas Syah Kuala Menjelang 20 Tahun,
(Medan: Waspada, 1980), hlm. 370.
[6] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &XVIII, (Bandung: Mizan,
2004), hlm. 191-211
[7] A. H. Johns, “Al-Qusyasyi, Syafi al-Din”
dalam Encyclopedia of Islam, New Edition, jilid V. B. Lewis dkk. (ed.),
Leiden:E.J. Brill, 1986), hlm. 525.
[8] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &XVIII, (Bandung: Mizan,
2004), hlm.73.
[9] Denys Lombard, Le Sultanat d’Atjeh au
Temps d’ Iskandar Muda 1607-1636 yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh Winarsih Arifin menjadi Kerajaan Aceh, Jaman sultan Iskandar
Muda (1607-1636), (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm. 215-221
[10] Misri A. Muhsin, “Salik Buta Aliran
Tasawuf Aceh Abad XX” dalam Jurnal Al-Jami’ah, Volume 42. Yogyakarta,
Universitas Islam Sunan Kalijaga, 2004, hlm. 178.
[11] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &XVIII, (Bandung: Mizan,
2004), hlm. 259
[12] Azyumardi Azra, Islam dan Negara Muslim
dalam Perspektif Islam Asia Tenggara (Jakarta: Obor, 1989), hlm. 145-180
[13] Badri Yatim (ed.), Ensiklopedi Mini,
(Jakarta: Logos, 1996), hlm. 170-221
[14] Tentang perkembangan tasawuf pada abad Xvi
ini baca misalnya Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka, 1988), hlm.
183.
[15] Lebih lengkap tentang kunjungan beberapa
utusan dari Mekkah, lihat Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snoukc
Hurgronje, vol. V. (Jakarta: INIS, 1996), hlm. 121-132.
[16] Untuk daftar lengkap karya-karyanya, lihat
P. Voorhoeve, “Abd Rauf Sinkel”, dalam Ensiklopedi Islam Indonesia,
(Jakarta: Djambatan, 1992), hlm. 35-53.
[17] Oman Fathurrahman, Tanbih al-Masyi;
Menyoal Wahdat al-Wujud, Kasus Abd Rauf Sinkel pada Abad ke-17 (Bandung:
Mizan, 1999,), hlm. 28-30.
[18] C. Snouck Hurgronje, Aceh: Rakyat dan
Adat Istiadatnya, (Jakarta: INIS, 1997), hlm.224-225
[19] Ibid.
[20] Roolvink, R., “Indonesian Literature” dalam Encyclopedia
of Islam, (Leiden: E. J. Brill, t.th., vol III, hlm. 1230-1235.
[21] Musthafa Fath Allah Al-Hamawi, Fawaid
Al-Irtihal wa Nata’ij Al-Shafar fi Akhbar Ahl Al-Qarn Al-Hadis ‘Asyar,
(Kairo: Dar al-Kutub Al-Mishriyyah, 1093), hlm, 21. Dikutip dalam Azyumardi
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
&XVIII, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 128.
[22] Ahmad Al-Nakhli, misalnya, percaya bahwa
hadis akan menuntun kepada kedekatan yang sejati dengan Nabi, yang menempati
posisi kedua setelah Tuhan sebagai intisari iman. Sedangkan menurut
Al-Qusyasyi, Nabi adalah tokoh paling penting bagi orang tarekat, sebab beliau
adalah sumber syariat setelah Tuhan. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &XVIII, (Bandung: Mizan,
2004), hlm. 128
[23] Hadis ini diriwayatkan Al-Bukhari, dalam
Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, (Kairo: Al-Sya’b, t.th.), hlm. 44.
[24] Karena pada dasarnya Al-Sinkili hanya
menggunakan hadis-hadis sebagai referensi atau penguat atas argumentasinya
[25] Tarekat berasal dari bahasa Arab thariqah,
jamaknya tharaiq, yang berarti: (1) jalan atau petunjuk jalan atau cara,
(2) Metode, system (al-uslub), (3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab),
(4) keadaan (al-halah), (5) tiang tempat berteduh, tongkat, payung (‘amud
al-mizalah). Menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M),
tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh
jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat. Lihat http//www.SufiNews.com
[26] Tarekat Syathariyah pertama kali digagas
oleh Abdullah Syathar (w.1429 M). Tarekat Syaththariyah berkembang luas ke
Tanah Suci (Makkah dan Madinah) dibawa oleh Syekh Ahmad Al-Qusyasyi
(w.1661/1082) dan Syekh Ibrahim al-Kurani (w.1689/1101). Dan dua ulama ini
diteruskan oleh Syekh ‘Abd al-Rauf Al-Sinkili ke Nusantara, kemudian
dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhan al-Din ke Minangkabau. Lihat http//www.SufiNews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar