Minggu, 22 Januari 2012

HADIS DI INDONESIA ABAD XVII-XVIII (Kajian atas pemikiran ‘Abd Rauf Sinkel (1615-1693)


Februari 16, 2010 at 3:50 am (Hadis - Ilmu Hadis) (Hadis - Ilmu Hadis)
I. PENDAHULUAN
Studi tentang sejarah perkembangan pemikiran hadis di Nusantara bisa di bilang masih sangat jarang dilakukan, padahal disamping ilmu lain seperti tafsir, kalam, dan tasawuf, hadis juga memegang peranan yang sangat penting dalam kajian Islam. Karena ia merupakan sumber kedua setelah Al-Qur’an. Pada umumnya kajian hadis masih terpusat pada karya-karya para ulama klasik, pembahasan yang dilakukan sekitar sejarah perkembangan hadis pada abad ke-2 H. sampai abad ke-4 H. Di samping itu pembahasan juga diarahkan pada pelacakan dan pengujian status kesahihan hadis.
Agak jarang-untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali –bahasan serius tentang perkembangan pemikiran hadis pada abad-abad sesudahnya sampai masuknya Islam di Indonesia.[1] Jika penyebaran Islam diduga sudah mulai menyentuh wilayah Nusantara sejak abad ke-13 M,[2] maka kenyataan di atas cukup memprihatinkan. Sebab hal ini akan menimbulkan persepsi kurang baik bagi sejarah intelektual Islam di Indonesia.  Padahal, dalam sejarahnya, dinamika intelektual umat Islam sebelum abad ke-19 M memiliki intensitas yang cukup tinggi.
Khusus mengenai hadis, wilayah ini tampaknya tidak mencatat perkembangan yang cukup signifikan. Berbeda dengan disiplin-disiplin lain seperti tasawuf, fiqih, tafsir, dan filsafat. Namun tidak berarti hadis  tidak berkembang sama sekali, karena kajian hadis pada saat itu baru bersifat antologi yakni berupa kumpulan-kumpulan dari berbagai tema yang berkaitan dengan kajian fiqih, jadi masih tercampur dengan disiplin lain.
Makalah ini akan mencoba mengungkap bagaimana perkembangan pemikiran hadis pada abad ke-17 M dan 18 M, khususnya pemikiran ‘Abd Rauf Al-Sinkili, yang mewakili ulama pada saat itu.
II. MENGENAL ABD RAUF SINKEL
A. Biografi
Abd Rauf Sinkel dilahirkan di Sinkel, Aceh, pada 1024 H/1615 M, nenek moyang Syeikh Sinkel berasal dari Persia yang datang ke Kesultanan Samudera Pasai pada akhir abad ke-13. Nama Sinkel dinisbahkan pada daerah kelahirannya itu.[3]
Beberapa literatur menyebutkan, ayah Sinkel adalah kakak laki-laki dari Hamzah Al-Fansuri, kendati tidak cukup bukti yang meyakinkan bahwa ia adalah keponakan Al-Fansuri. Nama yang terakhir ini merupakan seorang ulama yang juga filsuf yang terkenal dengan pantheismenya.[4] Namun, ada pula yang menyatakan bahwa ayah Sinkel, yakni Syeikh ‘Ali adalah seorang Arab yang telah mengawini wanita setempat dari Fansur (Barus), sebuah kota pelabuhan tua di Sumatra Barat. Keluarga itu lantas menetap di sana.
Pendidikan pertama Sinkel didapatkan di tempat kelahirannya, Sinkel, terutama dari ayahnya yang merupakan seorang alim. Ayahnya juga mempunyai pesantren. Sinkel pun menimba ilmu di Fansur, karena ketika itu negeri ini menjadi salah satu pusat Islam penting di Nusantara serta merupakan titik hubung antara orang Melayu dan kaum Muslim dari Asia Barat dan Asia Selatan. Beberapa tahun kemudian, Sinkel berangkat ke Banda Aceh, ibukota kesultanan Aceh dan belajar kepada Syams al-Din al-Samatrani, seorang ulama pengusung doktrin Wujudiyyah.[5]
Sejarah perjalanan karier Sinkel diawali saat dia menginjakkan kaki di jazirah Arab pada 1052 H/1642 M. Tercatat ada sekitar 19 guru yang pernah mengajarinya dengan berbagai disiplin ilmu Islam di samping sebanyak 27 ulama terkemuka lainnya. Tempat belajarnya tersebar di sejumlah kota yang berada di sepanjang rute haji, mulai dari Dhuha (Doha) di wilayah Teluk Persia, Yaman, Jeddah, Makkah serta Madinah. Studi keislamannya dimulai di Doha, Qatar, dengan berguru pada seorang ulama besar, Abd Al-Qadir al Mawrir.[6]
Ketika di Yaman, Sinkel belajar di sebuah kota bernama Bayt al-Faqih yakni dengan keluarga Ja’man. Beberapa anggota keluarga ini terkenal sebagai ahli sufi dan ulama terkemuka, antara lain Ibrahim Muhammad Ja’man serta Faqih al-Thayyib Abi al-Qasim Ja’man. Sebagian ulama Ja’man adalah juga murid-murid dari Ahmad Al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani.[7]
Guru paling berpengaruh terhadap pemahaman keagamaan Sinkel adalah Ibrahim Abdullah Ja’man, seorang muhaddits dan faqih. Di samping itu dia juga seorang pemberi fatwa yang produktif. Seperti diuraikan Dr Azyumardi Azra dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, sebagian besar waktu Sinkel dihabiskan untuk mempelajari ‘ilm al-zhahir (pengetahuan eksoteris) seperti fiqih, hadits dan subyek lain yang terkait. Sementara guru Sinkel yang lain, yakni Ishaq Muhammad Ja’man, terkenal sebagai muhaddits dan faqih di Bayt al-Faqih.
Ketika belajar di Zabid, Sinkel banyak menimba ilmu kepada Abd Al-Rahim al-Shiddiq Al-Khash, Amin Al-Shiddiq al-Mizjaji dan Abd Allaq Muhammad Al-Adani. Sejumlah ulama Yaman semisal Abd Fatah Al-Khash, Sayyid al-Thahit Al-Maqassari, Qadhi Muhammad Abi Bakr Muthayr dan Ahmad Abu Al-Abbas al-Muthayr juga banyak berhubungan dengan Sinkel.
Sesuai urutan rute haji, diketahui kemudian bahwa Sinkel menyinggahi kota Jeddah di Saudi Arabia dimana dia belajar dengan muftinya Abd Al-Qadir Al-Bharkali. Selanjutnya di Makkah, Sinkel belajar dengan Badr Al-Din al-Luhuri dan Abd Allah Al-Luhuri. Guru Sinkel terpenting di Makkah adalah Ali Abd Al-Qadir.
Sinkel juga menjalin hubungan dengan beberapa ulama terkemuka di Makkah. Antara lain Isa al-Maghribi, Abd Al-Aziz Al-Zamzani, Taj Al-Din Ibn Ya’qub, Ala’ Al-Din Al-Babili, Zayn Al-Abidin Al-Thabari, Ali Jamal Al-Makki dan Abd Allah Sa’id Ba Qasyir al-Makki. Dari banyak ulama inilah yang akhirnya menjadi bagian dari jaringan Sinkel dalam upayanya menyebarkan pembaruan dan pengetahuan Islam di Nusantara.
Perjalanan akhir Sinkel adalah di Madinah sekaligus menyelesaikan pelajarannya. Di kota tersebut, dia belajar dengan dua orang ulama penting, Ahmad Al-Qusyasyi dan khalifahnya Ibrahim al-Kurani. Dari Al-Qusyasyi dia mempelajari ilmu-ilmu dalam (‘ilm al-bathin) yakni tasawuf dan ilmu terkait lainnya. Oleh gurunya itu, Sinkel lantas ditunjuk sebagai khalifah Syathariyyah dan Qadiriyyah. Ini sekaligus menandai selesainya pelajaran dalam jalan mistis.
Ibrahim Al-Kurani banyak menanamkan pelajaran secara intelektual kepada Sinkel. Pelajaran yang tidak hanya menyangkut pemikiran melainkan pada tingkah laku pribadi dan ilmu pengetahuan tentang pemahaman intelektual Islam bukannya pengetahuan spiritual atau mistis.
Kedua ulama tersebut menjadi sentral dalam pencarian pengetahuan religi spiritual Sinkel. Bahkan tak berlebihan jika al-Qusyasyi telah dianggap sebagai guru spiritual dan mistis Sinkel sementara Al-Kurani menjadi guru intelektualnya. Kualitas intelektual Sinkel tak perlu diragukan lagi berkat didikan para ulama terkemuka saat itu. Pengetahuannya bisa dibilang sangat lengkap, mulai dari syariat, fiqih, hadis, disiplin ilmu eksoteris hingga kalam dan tasawuf.[8]
Karier mengajarnya dimulai di Haramayn (Makkah dan Madinah). Hal ini dinilai Azyumardi Azra tidak mengherankan mengingat menjelang datang ke Makkah dan Madinah, Sinkel telah mempunyai pengetahuan memadai untuk disampaikan kepada kaum muslim di Melayu-Indonesia. Selama 19 tahun dia belajar di tanah Arab. Merasa sudah cukup menggali ilmu dari banyak ulama, Sinkel memutuskan kembali ke Nusantara.
Ia kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan mengajarkan serta mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya di Arab. Murid yang berguru kepadanya makin bertambah banyak dan bukan hanya berasal dari sekitar wilayah Aceh saja tapi seantero Nusantara. Tak sedikit di antara murid-muridnya tadi menjadi ulama terkenal seperti Syeikh Burhanuddin dari Ulakan (Pariaman, Sumbar), Abd Al-Muhyi dari Jawa Barat serta Dawud Al-Jawi Al-Fansuri Ismail Agha Mushthafa Agha ‘Ali Al-Rumi asal Turki.
Karena pengetahuannya yang luas itu, maka Sultanah Shafiyyat Al-Din menunjuk Sinkel menjadi Qadhi Malik Al-’Adil atau mufti yang bertanggungjawab terhadap administrasi masalah keagamaan di kesultanan Aceh. Dengan dukungan sultanah, Sinkel berhasil menghapus ajaran Salik Buta, tarekat yang sudah ada sebelumnya.[9]
Aceh ketika itu masih diramaikan pertentangan antara penganut doktrin Wujudiyyah dan Nuruddin Al-Raniri. Namun tidak ada sumber yang menyebutkan bahwa Sinkel pernah bertemu dengan Al-Raniri sekitar periode 1047 H/1637 M dan 1054 H/1644-45 M. Kendati demikian, Sinkel berusaha melepaskan diri dari kontroversi dua paham tersebut.
Sinkel meninggal tahun 1105 H/1693 M.[10] Dia dimakamkan di dekat kuala atau mulut sungai Aceh. Tempat tersebut juga menjadi kuburan untuk istri-istrinya, murid kesayangannya Dawud Al-Rumi dan murid-murid lainnya. Di kemudian hari, ia dikenal dengan nama Tengku Syech Kuala yang namanya diabadikan pada perguruan tinggi di Banda Aceh yakni Universitas Syiah Kuala. Sinkel pun dikenal sebagai Wali Tanah Aceh. Makamnya hingga kini ramai dikunjungi para peziarah.[11]
B. Kondisi Sosial-Politik dan Keagaamaan
‘Abd Rauf mulai menjalani karir intelektualnya ketika Aceh berada dalam situasi chaos. Situasi demikian dipicu oleh adanya persengketaan antara penganut doktrin wujudiyyah (yang diasosiasikan kepada Hamzah Fansuri dan Syam al-Din al-Sumatrani) dengan pendukung al-Raniri (yang cenderung ortodok). Persengketaan kedua pihak menjadi makin runcing, ketika salah satu pihak (dengan dukungan kekuatan politik) melangkah jauh dengan mengambil jalan kekerasan yaitu melakukan tindakan pengejaran, penyiksaan, pembakaran, hingga pembunuhan.
Nuansa mistik memang menjadi bagian menonjol dalam kehidupan keagamaan kawasan ini, khususnya pada abad XVI-XVII. Gejala ini dapat dirunut sekurang-kurangnya sejak akhir abad XVI, di mana ketika itu Aceh Darussalam sedang berada di bawah pemerintahan Iskandar Muda.
Seperti pada umumnya penguasa saat itu, Iskandar Muda agaknya punya minat tinggi terhadap ajaran tasawuf atau mistik.[12] Pengangkatan Syam al-Din  al-Sumatrani sebagai mufti besar kerajaannya adalah salah satu indikasi yang dapat ditunjuk. Meski sangat terbatas petunjuk bahwa Syam al-Din kemudian memanfaatkan peluang ini untuk mengkampanyekan pandangan-pandangannya, tapi pengaruh jabatannya jelas memberi andil bagi kejayaan ajaran doktrin yang dianutnya. Akibatnya-seperti pada pemerintahan Ali Mughayat Syah- tasawuf tidak saja menjadi fenomena istana, tapi juga menjadi “gaya hidup” sebagian besar masyarakat waktu itu. Dalam penelitian Riddell ajaran yang menjadi trend waktu itu adalah teosofi a la Ibnu ‘Arabi.
Pergantian pucuk pimpinan sejak kematian Iskandar Muda pada 1636 membawa perubahan kehidupan keagamaan di Aceh. Penguasa baru, anak mantu Iskandar Muda (Iskandar Tsani) agaknya tidak memiliki orientasi keagamaan yang progresif sebagaimana mertuanya. Ia selanjutnya mengangkat Nuruddin al-Raniri –ulama asal Gujarat yang berpandangan ortodok- sebagai mufti besar Istana.
Ciri penting lain kehidupan politik dalam babakan sejarah saat ini yang juga patut dicatat adalah bahwa kesultanan saat itu dipegang oleh empat ratu secara berturut-turut hingga akhir abad ke 17 M. Ratu  pertama adalah Safiatuddin yang memerintah kurang lebih 34 tahun (1050-1086 /1641-1675) menggantikan suaminya, Iskandar Sani. Ratu kedua adalah Naqiqtuddin (1086-1088/1675-1678). Ketiga adalah ratu Zakiatuddin (1088-1098/1678-1688) dan akhirnya ratu Kamalat Syah (1098-1109/1688-1699).[13]
Pada keempat ratu itulah Al-Sinkili melewatkan masa hidupnya di Aceh. Para ahli sejarah mencatat pada masa pemerintahan para ratu ini Aceh mengalami banyak kemunduran (politis). Selain banyaknya wilayah yang lepas dari kekuasaan Aceh, kekacauan bermotif agama (yang sebelumnya sudah muncul) juga tambah berkecamuk, antara penganut paham wujudiyah (wahdat al-wujud) dan paham wahdat al-syuhud (nama untuk penganut paham ortodoks). Namun menurut Hasjmi, sejarah ilmu pengetahuan kebudayaan dan seni budaya makin mengalami perkembangan pesat.[14]
Namun terlepas dari sebab-sebab pemicu konflik, beberapa hal yang dapat dipahami dari setting sosial-politik dan juga keagamaan di “negeri atas angin” (salah satu sebutan untuk Aceh) adalah pertama, adanya persengketaan agama yang makin memanas antara dua kelompok tersebut yang menjurus pada tindakan saling menghujat dan bahkan mengkafirkan. Kedua, ada kontrofersi tentang sah tidaknya seorang pemimpin atau penguasa dari kalangan perempuan. Ini terbukti dengan diangkatnya isu tersebut ke tingkat yang lebih tinggi, yakni dengan mempertanyakan persoalan tersebut secara langsung pada syaraf agama di Haramain waktu itu. Ketika beberapa utusan dari sana singgah ke Aceh pada masa pemerintahan Zakiatuddin.[15] Ketiga, bahwa peran qadhi malik adil, yang dijabat oleh Al-Sinkili sangat strategis. Dalam prakteknya ia tidak saja mengurusi persoalan-persoalan keagamaan, namun lebih dari itu ia turut berperan dalam menentukan proses pengangkatan dan penurunan sultan.
Beberapa sumber menyebutkan, berkat jasa dan kuatnya pengaruh Al-Sinkili, usaha pemberontakan terhadap para penguasa perempuan gagal dilakukan. Berangkat dari poin inilah kemudian muncul anggapan bahwa selama pemerintahan keempat ratu sesungguhnya yang memegang kendali adalah Al-Sinkili (dari balik layar). Sehingga begitu Al-Sinkili mangkat, ratu terakhir Kamalat Syah akhirnya diturunkan dari kekuasaannya, karena qadhi waktu itu tidak mempunyai pengaruh yang sebanding dengan Al-Sinkili.
Dalam konteks sosial-politik dan keagamaan yang demikian Al-Sinkili hidup dan menjalankan perannnya sebagai qadhi malik al-adil dan menyusun beberapa karyanya termasuk al-Mawaiz al-Badi’ah.
C. Karya-Karya
Sepanjang hidupnya, tercatat Sinkel sudah menggarap sekitar 21 karya tulis,[16] terdiri dari 1 kitab tafsir, yaitu Tarjuman al-Mustafid (Terjemah Pemberi Faedah) sebagai kitab tafsir lengkap pertama yang dihasilkan di Indonesia dan berbahasa Melayu. Dua kitab hadits, yaitu Syarah Latif ‘ala Arba’in Hadisan li Imam Al-Nawawi, dan Al-Mawa’iz al-Badi’ah, keduanya berbahasa Melayu. Tiga  kitab fiqih.  Yaitu Mi’rat al-Tullab fi Tahsil Ahkam asy-Syar’iyyah li al Malik al-Wahhab (Cermin bagi Penuntut Ilmu Fiqih pada Memudahkan Mengenal Hukum Syara’ Allah) yang ditulis atas perintah Sultanah. Sementara di bidang tasawuf, karyanya yakni ‘Umdat al-Muhtajin (Tiang Orang-Orang yang Memerlukan), Kifayat al-Muhtajin (Pencukup Para Pengemban Hajat), Daqa’iq al-Huruf (Detail-Detail Huruf) serta Bayan Tajalli (Keterangan Tentang Tajalli). dan selebihnya kitab ilmu tasawuf.[17]
Namun, di antara sekian banyak karyanya, salah satu yang dianggap penting bagi kemajuan Islam di Nusantara adalah kitab Tarjuman al-Mustafid. Ditulis ketika Sinkel masih berada di Aceh, kitab ini telah beredar luas di kawasan Melayu-Indonesia bahkan ke luar negeri. Tafsir ini diyakini telah banyak memberikan petunjuk sejarah keilmuan Islam di Melayu. Kitab ini juga berhasil memberikan sumbangan berharga bagi telaah tafsir al-Qur’an dan memajukan pemahaman lebih baik terhadap ajaran-ajaran Islam.
D. Perkembangan Hadis Abad XVII-XVIII
1.  Secara Umum
Sebelum melangkah pada pemikiran al-Sinkili, penulis perlu secara singkat untuk mengungkap perkembangan hadis di Aceh pada abad XVII-XVIII, Snouck Hurgroje sebagai ahli yang pernah mengamati secara langsung di Aceh mencapai enam tahun, memberikan informasi bahwa di Aceh pada saat itu sangat kental dipraktikkan tasawuf, warisan Hamzah Fansuri.[18]
Khusus mengenai hadis, wilayah ini tampaknya tidak mencatat perkembangan yang pesat. Karena pada dasarnya telah ada karya-karya yang menggunakan rujukan-rujukan hadis sejak abad ke-19 M. Gejala ini tampak dari beberapa karya tulis yang dihasilkan dan ditemukan pada periode itu. Karya-karya Hamzah Fansuri atau Syam Al-Din Al-Sumatrani.
Karya-karya Hamzah banyak dituangkan dalam bentuk puisi atau prosa. Melalui bait-bait syairnya Hamzah menjelaskan beberapa ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis tertentu yang dikombinasikan dengan bahasa Melayu.
Baru  pada perkembangan selanjutnya terdapat karya Abd Shamad al-Palempani, yang menerjemahkan kitan Lubab Ihya’ ‘Ulum al-Dinnya al-Ghazali dengan judul Siyar al-Salikin. Buku ini banyak mengutip ayat serta hadis yang dijelaskan di dalamnya.[19]
Di samping itu, menurut Roolvink,[20] literatur Indonesia sejak masa awal dapat diklasifikasikan menjadi lima, pertama, cerita-cerita yang di ambil dari al-Qur’an (Kuranic’s tales) atau cerita tentang Nabi dan person lain yang namanya disebut dalam Al-Qur’an. Contoh karya ini seperti Hikayat Anbiya’, Hikayat Yusuf, dsb., kedua, cerita khusus tentang Nabi Muhammad saw., ketiga cerita tentang orang-orang yang hidup sezaman dengan Nabi (sahabat atau lainnya). Keempat, cerita tentang pahlawan-pahlawan (dalam dunia) Islam yang terkenal, seperti Iskandar Zulkarnain, dsb. Kelima, karya-karya yang berkaitan dengan masalah teologi. Bidang ini, menurut Roolvink, umumnya berkaitan dengan pengetahuan yang disebut tiga pilar Islam yaitu, ilmu kalam, ilmu fikih, dan ilmu tasawuf. Bentuk hadis sebagai disiplin tersendiri yang utuh hampir tidak dijumpai dalam kategori ini.
2.  Perspektif ‘Abd Rauf Sinkel
Kedudukan Al-Sinkili bagi perkembangan Islam di Nusantara sangat penting di bidang fiqih, teologi, tasawuf, tafsir dan hadis. Dalam bidang tafsir, ia adalah alim pertama  yang melakukan penafsiran Al-Qur’an secara lengkap dalam bahasa Melayu. Sebagai tafsir paling awal, tidak mengherankan kalau karya ini beredar luas di wilayah Melayu-Indonesia. Bahkan edisi cetaknya tidak hanya diterbitkan di Singapura, Penang, Jakarta, dan Bombay, tetapi juga di Timur tengah. Kenyataan bahwa Tarjuman al-Mustafid diterbitkan  di Timur Tengah pada masa yang berbeda-beda, mencerminkan nilai tinggi karya ini serta ketinggian intelektual Al-Sinkili. Edisi terakhirnya diterbitkan di Jakarta pada 1981. Ini menunjukkan bahwa karya ini masih digunakan di kalangan kaum muslim Melayu-Indonesia pada masa kini.
Tarjuman al-Mustafid mempunyai peranan yang sangat penting dalam sejarah Islam di Nusantara. Lewat karya ini, Al-Sinkili  memberikan banyak sumbangan kepada telaah tafsir Al-Qur’an di Nusantara.
Adapun pemikirannya tentang hadis, Al-Sinkili menulis dua karya dalam bidang ini, yang pertama adalah Syarah Latif ‘ala Arba’in Hadisan li Imam an-Nawawi, ini merupakan penafsiran mengenai empat puluh hadis karya al-Nawawi, yang kedua adalah al-Mawa’iz al-Badi’ah, sebuah koleksi hadis qudsi, yaitu wahyu Tuhan yang disampaikan kepada kaum beriman melalui kata-kata Nabi Muhammad.
Jika ditelaah lebih jauh tentang para gurunya, yaitu Al-Qusyasyi dan al-Kurani, diketahui bahwa al-Kurani mengajarkan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan intelektual, yang dikenal dengan ‘ilm zahir seperti ilmu hadis, ilmu tafsir dan ilmu kalam. Sedangkan  dari Al-Qusyasyi, Al-Sinkili mewarisi ilmu-ilmu esoteris atau ‘ilm bathin. Begitu juga Ibrahim ibn ‘Abd Allah ibn Ja’man (w. 1083/1672), beliau dikenal sebagai seorang muhaddis dan sekaligus faqih. Keduanya mempunyai jalur isnad yang terhubung kepada para muhaddis,
Al-Sinkili melewatkan sebagian besar waktunya  bersama Ibrahim ibn  ‘Abd Allah ibn Ja’man, mempelajari apa yang dinamakan ‘ilm zahir (pengetahuan eksoteris), seperti fikih, hadis, dan ilmu-ilmu  yang terkait.
Dengan gambaran di atas membuktikan bahwa Al-Sinkili mewarisi kecenderungan dengan jaringan ulama untuk menekankan pentingnya hadis. Ini tidak mengherankan, sebab sebagian besar masa hidupnya dihabiskan Haramain (Makkah dan Madinah), yang sejak tahun-tahun permulaan Islam, telah dikenal sebagai pusat utama hadis. Sebab Nabi Muhammad sebagai sumber hadis, hidup dan memulai ajaran Islam di sana.
Perkembangan selanjutnya, sesuai dengan riset yang dilakukan oleh Azra membuktikan,  bahwa kebanyakan isnad-isnad disebarkan melalui para muhaddis utama dari abad ke-15 dan awal abad ke-16 di Mesir, yaitu oleh Ibnu Hajar Al-’Asqalani (w. 853/1449), Jalaluddin Al-Suyuthi, dan Zakaria Al-Anshari. Akibat perkembangan ini, bahkan para ulama yang dikenal sebagai sufi, seperti Al-Qusyasyi, Al-Kurani, dan Al-Nakhli atau ‘Abd Allah Al-Bashri mempunyai kaitan erat dengan tradidi-tradisi ilmiah hadis di Mesir dan Afrika Utara.
Telaah-telaah hadis bagi para ulama ini merupakan subjek paling penting dalam keahlian mereka. Al-Kurani mempunyai isnad hadis melaui ‘Abd Allah Al-Lahuri (w. 1083/1672), yang menghubungkannya dengan Quthb al-Din Al-Nahrawali, yang pada puncaknya sampai pada Ibnu Hajar Al-’Asqalani.
Mengingat betapa pentingnya kajian hadis, Al-Kurani bahkan menegaskan, ” Aku tidak menyimpan keraguan bahwa ia (hadis) akan abadi di atas bumi.”[21] Ini juga menunjukkan bahwa Nabi Muhammad adalah tokoh paling penting bagi tarekat, sebab beliau adalah sumber syari’at setelah Tuhan.
Pengaruh warisan dari guru-gurunya tersebut terlihat dalam kedua karyanya ini, yang mencerminkan perhatian Al-Sinkili secara sungguh-sungguh terhadap kaum muslim yang masih awam tentang pemahaman hadis, dengan karya tersebut juga dimaksudkan agar memudahkan mereka dalam memahami ajaran-ajaran Islam. Hadis Arba’in Nawawi ini adalah sebuah koleksi kecil hadis-hadis menyangkut kewajiban-kewajiban dasar dan praktis kaum muslim awam dan bukan untuk ahli yang sudah mendalami ilmu agama. Menurut Azra, penjelasan Al-Sinkili atas Hadis Arba’in ini tidak ditemukan dalam bentuk cetakan.
Adapun mengenai kumpulan hadis qudsi, Al-Sinkili mempunyai sifat yang serupa. Ia mengemukakan ajaran mengenai Tuhan dan hubungannya dengan ciptaan, neraka dan surga, dan cara-cara yang layak bagi kaum muslim untuk mendapatkan ridha Tuhan. Al-Sinkili secara khusus menekankan perlunya bagi setiap Muslim membedakan antara pengetahuan (‘ilm) dan perbuatan baik (‘amal). Karena pengetahuan saja tidak akan membuat seseorang menjadi Muslim yang baik. Al-Mawa’iz al-Badi’ah diterbitkan di Makkah pada 1310/1892 (edisi kelima). Dengan karya ini, Al-Sinkili memberikan contoh bagi para ulama Melayu untuk menyusun karya koleksi hadis Nabi, sejak abad ke-19 karya-karya semacam itu menjadi sangat populer di Nusantara.
Karya yang kedua ini menunjukkan usaha-usaha yang dilakukan Al-Sinkili untuk membuat cara-cara Nabi, di samping ajaran-ajaran Al-Qur’an, tidak hanya menjadi sumber hukum, tetapi juga inspirasi bagi amalan moral yang layak. Oleh karena itu, dengan sendirinya, melalui telaah-telaah hadis, Al-Sinkili ingin mencapai tujuan-tujuan kesalehan yang lebih tinggi. Al-Sinkili percaya, bahwa  hadis akan menuntun kepada kedekatan yang sejati dengan Nabi, yang menempati posisi kedua setelah Tuhan sebagai intisari iman.
Makna khusus yang diberikan Al-Sinkili pada kajian hadis mencerminkan usaha-usaha untuk membuat cara-cara Nabi -di samping ajaran-ajaran al-Qur’an- tidak hanya menjadi sumber hukum, tetapi juga inspirasi yang tak habis-habisnya bagi amalan moral yang layak. Karena itu dengan sendirinya, dalam telaah-telaah hadis, Al-Sinkili tidak  membatasi diri hanya mempelajari buku-buku standar (al-kutub al-sittah). Enam buku induk hadis itu hanya merupakan sebagian kecil dari telaah-telaah hadisnya.
Tekanan khusus yang diberikan Al-Sinkili pada telaah hadis mempunyai pengaruh besar, tidak hanya dalam menghubungkan para ulama dan berbagai “tradisi-tradisi kecil” Islam, tetapi juga dalam  menimbulkan perubahan-perubahan dalam pandangan mereka atas tasawuf, terutama dalam kaitannya dengan syariat.
Perhatian khusus pada telaah hadis atau sunnah Nabi sebagai sumber kedua hukum Islam, menuntun Al-Sinkili dan ulama lainnya[22] menuju apresiasi lebih besar pada makna syariat dan tasawuf. Hal ini bisa ditemukan pada referensi karya-karya yang berupa tafsir, fiqih, dan tasawuf yang berupa riwayat-riwayat hadis. Misalnya yang terdapat pada karya Al-Sinkili Mir’at al-Thullab yang memuat tentang aspek mu’amalat dari fiqih, yaitu kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan keagamaan kaum muslim. Sumber utama karya ini adalah Fath al-Wahhab karya Zakariya Al-Ansari. Di samping itu Al-Sinkili juga mengambil dari Syarah Sahih Muslim karya Al-Nawawi, Tafsir Al-Baidhawi karya Ibnu ‘Umar Al-Baidhawi, dan masih banyak sumber-sumber lain yang berupa kumpulan riwayat hadis.
Misalnya tentang tasawuf, dapat diketahui bahwa rujukan utamanya juga tidak terlepas dari riwayat-riwayat hadis, misalnya dalam Daqa’iq al-Huruf, Al-Sinkili dengan sangat bijaksana mengajarkan kepada kaum Muslim tentang bahaya menuduh orang lain kafir dengan mengutip sebuah hadis Nabi Saw., yang menyatakan,
لا يرم رجل بالفسوق ولا يرمه بالكفر إلاّ أرتدّ عليه إن لم يكن صاحبه كذالك.
رواه البخاري
Artinya: “Janganlah menuduh orang lain menjalankan kehidupan penuh dosa atau kafir, sebab tuduhan itu akan berbalik jika ternyata tidak benar[23]
Hadis ini digunakan Al-Sinkili untuk menjustifikasi sikap Al-Raniri yang sangat radikal dalam doktrin wujudiyahnya. Dengan demikian, konteks sosial-politik dan keagamaan Al-Sinkili (adanya pertentangan antara faham wahdat al-wujud dan wahdat al-syuhud), selain itu perdebatan tentang posisi penguasa yang sedang dipegang oleh para sulthanah sangat mempengaruhi corak pemikirannya, khususnya pada kajian hadis dan fikih. Di mana Al-Sinkili menyusun al-Mawaiz al-Badi’ah dan Mir’at al-Thullab ketika ia sedang  menjalankan perannnya sebagai qadhi malik al-adil.
III. KESIMPULAN
Dari kajian-kajian yang berhasil ditelusuri, terutama tentang perkembangan studi hadis di Indonesia pada abad XVII-XVIII, memberikan gambaran bahwa hadis pada masa itu belum berkembang menjadi disiplin tersendiri, Karena kajian hadis baru pada dataran praktis, belum tersusun secara teoritis. Meskipun telah ada karya Al-Sinkili mengenai hadis, namun penulis merasa kesulitan untuk mendapatkan data primer yaitu al-Mawa’iz al-Badi’ah.
Data-data yang penulis gunakan adalah data sekunder yang masih terkait erat dengan pembahasan. Kesulitan  ini disebabkan sosok Al-Sinkili lebih dikenal sebagai tokoh tasawuf dari pada seorang ahli hadis (muhaddis)[24] atau ahli tafsir (mufassir), karena dari beberapa literatur yang penulis dapatkan memang lebih banyak mengarah pada ajaran tentang thariqat[25] Syaththariyah.[26]
Pada akhirnya, tulisan ini barangkali belum bisa dijadikan referensi untuk mengetahui lebih banyak tentang bagaimana pandangan Al-Sinkili tentang hadis. Namun begitu, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Hawash. t.th. Perkembangan Ilmu Tasawuf & Tokoh-tokohnya di Nusantara, Surabaya, Al-Ikhlash
Al-Bukhari, t.th. Sahih Al-Bukhari, Kairo, Al-Sya’b
Azra, Azyumardi. 2004. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &XVIII. Bandung, Mizan
Braginsky, V.I. 1998. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal; Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 17-19. Jakarta, INIS
Fathurrahman, Oman. 1999. Tanbih al-Masyi; Menyoal Wahdat al-Wujud, Kasus Abd Rauf Sinkel pada Abad ke-17. Bandung, Mizan
Hasjmi A. Hasjmi. 1980. “Syekh Abdurrauf Syah Kuala, Ulama Negarawan yang Bijaksana”, dalam Universitas Syah Kuala Menjelang 20 Tahun. Medan, Waspada
http//www.SufiNews.com
Hurgronje, Snouck,  C. 1997. Aceh: Rakyat dan adat istiadatnya, Jakarta, INIS
Johns, A. H. 1986. “Al-Qusyasyi, Syafi al-Din” dalam Encyclopedia of Islam, New Edition, jilid V. B. Lewis dkk. (ed.), Leiden:E.J. Brill
Lombard, Denys. 1991. Le Sultanat d’Atjeh au Temps d’ Iskandar Muda 1607-1636. terj. Kerajaan Aceh, Jaman sultan Iskandar Muda (1607-1636), Jakarta, Balai Pustaka
Voorhoeve, P. 1992. “Abd Rauf  Sinkel”, dalam Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta, Djambatan
Muhsin, Misri A. 2004. “Salik Buta Aliran Tasawuf Aceh Abad XX” dalam Jurnal Al-Jami’ah, Volume 42. Yogyakarta, Universitas Islam Sunan Kalijaga
R, Roolvink.. t.th.  “Indonesian Literature” dalam Encyclopedia of Islam, Leiden, E. J. Brill, vol III.

[1] Istilah Indonesia yang dipakai penulis hanya bersifat umum, karena secara khusus term tersebut merujuk pada wilayah Aceh, sebagai wilayah asal dari Al-Sinkili. Di samping itu Aceh yang dikenal dengan “serambi Makkah” merupakan pusat domisili atau tempat singgah para ulama dan pendatang yang ingin datang ke wilayah Indonesia.
[2] Ada banyak teori mengenai awal mula kedatangan Islam di wilayah ini. Namun menurut Azyumardi Azra, teori yang menyebut abad 13 sebagai permulaan kedatangan Islam lebih dapat dipertanggungjawabkan. Diskusi lebih detail mengenai ini lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &XVIII, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 14.
[3] Oman Fathurrahman, Tanbih al-Masyi; Menyoal Wahdat al-Wujud, Kasus Abd Rauf Sinkel pada Abad ke-17 (Bandung: Mizan, 1999,), hlm. 25. Bandingkan dengan V.I. Braginsky, Yang Indah, Berfaedah dan Kamal; Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 17-19 (Jakarta: INIS, 1998), hlm.
[4] Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf & Tokoh-tokohnya di Nusantara, (Surabaya: Al-Ikhlash, t.th.), hlm.50.
[5] A. Hasjmi, “Syekh Abdurrauf Syah Kuala, Ulama Negarawan yang Bijaksana”, dalam Universitas Syah Kuala Menjelang 20 Tahun, (Medan: Waspada, 1980), hlm. 370.
[6] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &XVIII, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 191-211
[7] A. H. Johns, “Al-Qusyasyi, Syafi al-Din” dalam Encyclopedia of Islam, New Edition, jilid V. B. Lewis dkk. (ed.), Leiden:E.J. Brill, 1986), hlm. 525.
[8] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &XVIII, (Bandung: Mizan, 2004), hlm.73.
[9] Denys Lombard, Le Sultanat d’Atjeh au Temps d’ Iskandar Muda 1607-1636 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Winarsih Arifin menjadi Kerajaan Aceh, Jaman sultan Iskandar Muda (1607-1636), (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm. 215-221
[10] Misri A.  Muhsin, “Salik Buta Aliran Tasawuf Aceh Abad XX” dalam Jurnal Al-Jami’ah, Volume 42. Yogyakarta, Universitas Islam Sunan Kalijaga, 2004, hlm. 178.
[11] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &XVIII, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 259
[12] Azyumardi Azra, Islam dan Negara Muslim dalam Perspektif Islam Asia Tenggara (Jakarta: Obor, 1989), hlm. 145-180
[13] Badri Yatim (ed.), Ensiklopedi Mini, (Jakarta: Logos, 1996), hlm. 170-221
[14] Tentang perkembangan tasawuf pada abad Xvi ini baca misalnya Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka, 1988), hlm. 183.
[15] Lebih lengkap tentang kunjungan beberapa utusan dari Mekkah, lihat Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snoukc Hurgronje, vol. V. (Jakarta: INIS, 1996), hlm. 121-132.
[16] Untuk daftar lengkap karya-karyanya, lihat P. Voorhoeve, “Abd Rauf  Sinkel”, dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm. 35-53.
[17] Oman Fathurrahman, Tanbih al-Masyi; Menyoal Wahdat al-Wujud, Kasus Abd Rauf Sinkel pada Abad ke-17 (Bandung: Mizan, 1999,), hlm. 28-30.
[18] C. Snouck Hurgronje, Aceh: Rakyat dan Adat Istiadatnya, (Jakarta: INIS, 1997), hlm.224-225
[19] Ibid.
[20] Roolvink, R., “Indonesian Literature” dalam Encyclopedia of Islam, (Leiden: E. J. Brill, t.th., vol III, hlm. 1230-1235.
[21] Musthafa Fath Allah Al-Hamawi, Fawaid Al-Irtihal wa Nata’ij Al-Shafar fi Akhbar Ahl Al-Qarn Al-Hadis ‘Asyar, (Kairo: Dar al-Kutub Al-Mishriyyah, 1093), hlm, 21. Dikutip dalam Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &XVIII, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 128.
[22] Ahmad Al-Nakhli, misalnya, percaya bahwa hadis akan menuntun kepada kedekatan yang sejati dengan Nabi, yang menempati posisi kedua setelah Tuhan sebagai intisari iman. Sedangkan menurut Al-Qusyasyi, Nabi adalah tokoh paling penting bagi orang tarekat, sebab beliau adalah sumber syariat setelah Tuhan. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &XVIII, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 128
[23] Hadis ini diriwayatkan Al-Bukhari, dalam Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, (Kairo: Al-Sya’b, t.th.), hlm. 44.
[24] Karena pada dasarnya Al-Sinkili hanya menggunakan hadis-hadis sebagai referensi atau penguat atas argumentasinya
[25] Tarekat berasal dari bahasa Arab thariqah, jamaknya tharaiq, yang berarti: (1) jalan atau petunjuk jalan atau cara, (2) Metode, system (al-uslub), (3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-halah), (5) tiang tempat berteduh, tongkat, payung (‘amud al-mizalah). Menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat. Lihat http//www.SufiNews.com
[26] Tarekat Syathariyah pertama kali digagas oleh Abdullah Syathar (w.1429 M). Tarekat Syaththariyah berkembang luas ke Tanah Suci (Makkah dan Madinah) dibawa oleh Syekh Ahmad Al-Qusyasyi (w.1661/1082) dan Syekh Ibrahim al-Kurani (w.1689/1101). Dan dua ulama ini diteruskan oleh Syekh ‘Abd al-Rauf Al-Sinkili ke Nusantara, kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhan al-Din ke Minangkabau. Lihat http//www.SufiNews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar